Friday, June 3, 2011

Ahmadiyah dan Islam Demokrat

Oleh Saidiman

Kesimpulan mengenai kompatibitas antara Islam dan demokrasi bukan sesuatu yang mudah. Dunia Islam dikenal sebagai lahan subur kebangkitan agama atau religiositas pasca runtuhnya komunisme. Kebangkitan agama ini muncul di semua negeri berpenduduk Muslim. Bagi banyak kalangan, kebangkitan agama adalah alamat buruk bagi demokrasi. Tetapi sesungguhnya hal ini tidak akan menjadi persoalan jika agama tidak diposisikan sebagai lawan bagi demokrasi.

Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Koran Tempo, 23 April 2008


Presiden tidak akan menindaklanjuti keputusan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan di Masyarakat (Bakor Pakem) tentang pelarangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam bentuk pembubaran JAI. Pembubaran JAI bentuk pelanggaran Konstitusi dan akan menjadi preseden buruk bagi Presiden dan juga bangsa Indonesia di dunia internasional.

Keputusan Bakor Pakem tentang pelarangan kegiatan Jamaah Ahmadiyah telah merusak sendi-sendi kehidupan bersama di negara majemuk ini. Bakor Pakem menyatakan bahwa Ahmadiyah tidak patuh kepada ajaran-ajaran pokok (agama Islam). Oleh karena itu, Bakor Pakem mengeluarkan larangan kepada Jamaah Ahmadiyah untuk melakukan kegiatan. Lebih jauh, jika pelarangan ini tidak diindahkan, maka Bakor Pakem akan meminta pemerintah, dalam hal ini Presiden dan jajarannya, untuk menyatakan Ahmadiyah sebagai organisasi terlarang.

Keputusan ini mengingatkan kembali kepada kesimpulan-kesimpulan Geert Wilders yang menyatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan dan al-Qur’an adalah kitab fasis. Pelarangan aktivitas Ahmadiyah dengan landasan perbedaan teologis adalah bentuk kekerasan dan fasisme berbasis agama. Secara langsung Bakor Pakem telah membenarkan kesimpulan Wilders mengenai Islam.

Kekeliruan mendasar Bakor Pakem merekomendasikan pelarangan Ahmadiyah adalah pada pemaksaan penafsiran keagamaannya. Bakor Pakem tidak bertindak selayaknya abdi negara yang harus tunduk kepada amanat Konstitusi di mana negara berdiri netral di atas semua agama dan keyakinan. Bukan hanya Bakor Pakem, negara pun tidak memiliki wewenang untuk melakukan intervensi terhadap doktrin kebenaran agama. Tidak ada yang lebih berhak menghakimi sebuah keyakinan.


Citra Muslim Demokrat

Fenomena rekomendasi pelarangan Ahmadiyah mengejutkan di tengah upaya Indonesia untuk memperbaiki citra di dunia internasional. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang diharapkan menjadi wilayah eksperimentasi demokrasi di dunia Islam pada umumnya. Banyak pengamat yang meragukan kultur Islam bisa menerima demokrasi sebagai sistem kehidupan politik. Islam dilihat sebagai entitas budaya yang unik.

Ada tiga karakter utama masyarakat Muslim yang, menurut Samuel P. Huntington, Elie Kedourie, dan Bernard Lewis, menjadi penyebab utama gagalnya eksperimentasi politik demokratis di dunia Muslim. Pertama, Islam dipahami sebagai pandangan hidup yang menyeluruh, tidak ada beda antara politik dan agama. Pandangan ini dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi sebagai kedaulatan rakyat. Kedua, pandangan di atas diterima secara umum oleh masyarakat Muslim. Ketiga, masyarakat Muslim cenderung antipati terhadap ide-ide pembaharuan yang berasal dari Barat, hanya karena ia berasal dari Barat. Tidak sedikit pemikir lain yang tampak putus asa dengan fenomena ini. Fareed Zakaria bahkan tidak merekomendasikan demokrasi liberal untuk masyarakat Muslim, melainkan otokrat liberal. Masyarakat Muslim, menurut Zakaria, sebaiknya mencontoh praktik politik Cina dan Singapura, bukan Eropa Barat atau Amerika Serikat.

Kesimpulan di atas sesungguhnya memiliki banyak bukti dalam kehidupan masyarakat Muslim dunia, yakni masih minimnya penerimaan terhadap demokrasi oleh negara-negara berpenduduk Muslim. Praktis hanya Mali dan Indonesia yang telah menjadi negara demokratis ditinjau dari pelaksanaan Pemilu dan tersedianya institusi-institusi demokratis. Selebihnya adalah negara non-demokratis dan semi-demokratis. Bentuk-bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dan ketidakbebasan lainnya bahkan ditemukan paling tinggi di negara-negara Muslim.


Religiositas

Meski begitu, tidak sedikit pula pengamat yang memandang positif terhadap pertumbuhan demokrasi di negara-negara Muslim. Demokrasi, bagi kelompok ini, bukanlah produk budaya tertentu yang hanya mungkin tumbuh dalam wilayah teritorial tertentu. Demokrasi adalah sesuatu yang universal yang bisa tumbuh di manapun dan kapanpun. Peneliti Saiful Mujani menemukan bahwa karakter masyarakat Indonesia sesungguhnya adalah lahan subur bagi tumbuhnya demokrasi. Masyarakat Indonesia yang toleran, gemar berjejaring, dan memiliki tingkat partisipasi politik yang cukup tinggi sesungguhnya adalah bentuk-benduk budaya demokratis. Saiful menyebut masyarakat Indonesia sebagai Muslim Demokrat. Istilah ini ingin menjelaskan bahwa masyarakat Muslim Indonesia sama sekali bukan halangan bagi tumbuhnya demokrasi. Masyarakat Indonesia bisa menjadi Islam sekaligus demokratis.

Kesimpulan mengenai kompatibitas antara Islam dan demokrasi bukan sesuatu yang mudah. Dunia Islam dikenal sebagai lahan subur kebangkitan agama atau religiositas pasca runtuhnya komunisme. Kebangkitan agama ini muncul di semua negeri berpenduduk Muslim. Bagi banyak kalangan, kebangkitan agama adalah alamat buruk bagi demokrasi. Tetapi sesungguhnya hal ini tidak akan menjadi persoalan jika agama tidak diposisikan sebagai lawan bagi demokrasi. Di banyak negara Muslim, kaum agamawan justru adalah penggerak proses demokratisasi. Kelompok tarekat dan sufi adalah gerakan oposisi yang sangat kuat bagi kekuasaan militer di Turki. Demikian halnya kelompok Islam yang diharapkan bisa memperkuat budaya demokratis di Malaysia.

Keputusan Bakor Pakem dengan landasan teologis Islam adalah semacam penyimpangan dari fenomena umum masyarakat Islam dunia yang mulai tumbuh sebagai masyarakat demokratis. Ini adalah bentuk religiositas yang bertentangan dengan demokrasi. Bisa diduga, bahwa rekomendasi Bakor Pakem untuk pembubaran Ahmadiyah tidak akan diterima oleh Presiden. Presiden harus berpikir berkali lipat untuk melarang JAI yang telah ada di Indonesia sejak 1920-an ini. Jika keputusan pembubaran JAI itu dikeluarkan, Presiden tidak hanya harus bersiap menanggung malu di dunia internasional, melainkan juga harus bersiap dijatuhkan karena telah melakukan pelanggaran Konstitusi dan menyalahi sumpah jabatan. Masyarakat Muslim Indonesia yang toleran dan cinta damai juga harus menimbang ulang jika harus memilih seorang Presiden fasis dan pelanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan.

http://islamlib.com/id/artikel/ahmadiyah-dan-islam-demokrat

No comments:

Post a Comment