Novriantoni Kahar Manajer Jaringan Islam Liberal
SALAH satu persoalan serius Indonesia setelah reformasi adalah kegamangan pemerintah melakukan proteksi terhadap kelompok minoritas agama yang tertindas. Rezim demokratis yang sampai kini sangat peduli pada aspek pencitraan diri ini tak kuasa melawan aspirasi intoleran yang disalahpersepsikan sebagai kekuatan arus utama umat. Pemerintah ragu mengambil tindakan proteksi, dan dalam banyak kasus justru cenderung didikte oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di lapangan. Kegamangan itulah yang memasung sikap pemerintah dalam beberapa kasus kekerasan terhadap minoritas Ahmadiyah, Lia Eden, nabi-nabi dan agama-agama lokal, penutupan gereja, serta kasus kekerasan lainnya.
Untuk mengakhiri kegamangan pemerintah, mungkin ada baiknya berkaca pada manual sejarah Islam dalam memperlakukan minoritas secara beradab. Mantan intelektual islamis asal Mesir, Kamal Said, menunjukkan bahwa sikap penguasa muslim terhadap minoritas tidaklah tunavisi dan nihil dari standar keberadaban. Dalam kitabnya, Al-Aqalliyyat wa al-Siyaasah fi al-Khibrah al-Islaamiyyah, ia mengulas bagaimana otoritas politik sejak zaman nabi sampai era Utsmani mengelola dan memperlakukan kelompok minoritas secara kategorial.
Untuk minoritas non-Islam, standarnya dituntun oleh dokumen-dokumen normatif Islam ataupun praktek luhur penguasa muslim yang dibakukan dalam sistem zimmah. Sistem proteksi dan perlakuan setara bagi nonmuslim itu-sekalipun tak relevan di zaman modern ini-secara komparatif jauh lebih beradab dalam mengurus minoritas lain agama dibanding praktek negara-negara Eropa di zaman yang sama.
Yang problematis dan jauh lebih kompleks justru perlakuan terhadap minoritas internal Islam, yang didefinisikan Said sebagai "mereka yang keluar dari konsensus arus besar umat". Said menunjukkan bahwa dalam sejarah politik Islam, mereka yang dicap sempalan atau devian ini sangat bergantung pada definisi kelompok atau sekte yang sedang berkuasa. Karena itu, sang devian, sempalan, dan minoritas bisa berganti-ganti dari satu rezim politik berkuasa ke rezim politik lainnya. Namun ada beberapa kategori yang menjadi standar perlakuan yang beradab bagi mereka.
Pertama, penyikapan terhadap mereka sangat ditentukan "kepentingan strategis" suatu kedaulatan politik, bukan semata-mata didasarkan atas sesat-tidaknya keyakinan agama yang mereka anut. Kedua, standar perlakuan itu juga ditentukan penilaian tentang "tingkat ancaman" mereka terhadap kepentingan strategis suatu kedaulatan politik. Otoritas politik muslim dan para intelektualnya ikut berkontribusi dalam membuat kriteria. Jika sekadar menyimpang dari keyakinan arus utama, biasanya pemerintah berkuasa akan tetap bersikap netral dan imparsial.
Minoritas jenis ini normalnya disikapi sebagai bentuk keragaman ekspresi keyakinan internal umat, yang dalam nomenklatur Islam dikenal sebagai adabiyyat al-firaq atau khazanah sekte-sekte. Mereka lazimnya tidak dianggap ancaman terhadap keutuhan bernegara. Soal ini berada di domain dakwah, bukan domain dawlah atau negara. Karena diletakkan sebagai urusan persuasi di antara masyarakat sipil, negara biasanya tidak memperlakukan mereka secara semena-mena, bahkan cenderung menenggang keberadaan mereka. Namun tetap saja tingkat toleransi dan intoleransi penguasa dapat diwarnai dan dipengaruhi oleh propaganda ulama di lingkungan kekuasaan.
Ketiga, bila suatu kelompok minoritas dianggap mengancam negara, aspek ancaman itu pun masih dibagi menjadi dua. Pertama, yang bersifat mengancam di level identitas dan legalitas kenegaraan (tahaddiyan haqiiqiyyah fi mustawa al-huwiyyah wa al-syar'iyyah). Yang berada di level ini biasanya dianggap ancaman laten saja, dan karena itu tidak ditindak secara represif. Kedua, bagi yang mengancam secara nyata pada level stabilitas dan keamanan sosial (tahaddiyan haqiiqiyyan fi mustawa al-istiqraar wa al-amn al-ijtimaa'i), penyikapannya mulai berbeda. Pada tingkat ini, penguasa politik biasanya mengambil tindakan nyata dan represif. Mereka dikategorikan sebagai bughaat, kaum pembangkang, atau kelompok separatis yang ancamannya terhadap negara sudah beralih dari laten menjadi manifes.
Berkaca pada studi Said, kita dapat mengatakan bahwa dalam sejarah politik Islam sekalipun, mereka yang hanya menyimpang secara keyakinan tidaklah dianggap sebagai ancaman bernegara. Pejabat semacam menteri agama dalam sejarah negara Islam, apalagi negara Pancasila, tidak sepantasnya memperlakukan minoritas jenis ini secara semena-mena. Justru karena keberadaan mereka dianggap minoritas yang tidak mengancam, mereka tolerable di negara Islam. Di negara Pancasila, tentu sudah semestinya minoritas jenis ini lebih tolerable.
Untuk yang jelas-jelas mengancam sendi dan jati diri bangsa pun, sejarah Islam masih memberikan ruang toleransi. Di lingkungan Sunni, minoritas internal Islam seperti Druz dan Syiah masih dimaklumi asalkan tidak berbuat kekacauan. Dalam sejarah Indonesia modern, ini persis seperti mereka yang tak sudi hormat bendera dan menyanyikan Indonesia Raya. Tidak seperti teroris atau ormas garis keras yang melakukan agresi ke pihak lain, mereka sudah sewajarnya mendapat dispensasi meskipun sudah melemahkan sendi-sendi bernegara.
Yang pantas disikapi serius tentulah minoritas yang merongrong sendi-sendi bernegara, sekaligus membuat kekacauan sosial-politik ataupun secara berulang-ulang main hakim sendiri ke kelompok lain. Sejarah politik Islam menunjukkan kelompok seperti ini akan direpresi tanpa ampun. Namun, di sebuah negara beradab seperti Indonesia, perlakuan manusiawi terhadap minoritas apa pun tetaplah harus dijunjung tinggi. Dari situlah tingkat peradaban suatu bangsa dapat diukur dan dibanggakan. Keluhuran budi dalam memperlakukan kaum minoritas yang nonagresif merupakan ciri bangsa yang maju dan beradab.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/09/13/KL/mbm.20100913.KL134575.id.html (Accessed on 6/23/2011)
No comments:
Post a Comment