Kompas, 04 Mar 11
Oleh: Masdar Hilmy
Ungkapan ”tidak ada kebebasan tanpa batas” atau ”kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain” adalah benar secara normatif, tetapi problematis di tingkat praksis-aplikatif.Persoalannya, domain kebebasan dan batas-batasnya tidak memiliki ukuran dan standar yang baku, jelas, dan terukur; jelas menurut ukuran apa dan siapa? Pada kenyataannya, ukuran kebebasan dan batasan sering dibuat sendiri oleh individu dan atau kelompok yang memiliki kuasa atau dekat dengan sumber- sumber kuasa.
Ukuran dan batasan kebebasan semacam ini pada kenyataannya sering di-(salah)-gunakan oleh individu atau kelompok untuk melakukan glorifikasi diri di satu sisi dan demonisasi yang ”lian” di sisi lain. Sikap-sikap semacam inilah yang tak jarang berujung pada pengerdilan dan pembatasan hak-hak sipil warga (civil rights). Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak sipil warga yang keberadaannya paling sering dilanggar, baik oleh sesama individu maupun oleh negara. Inilah persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh Indonesia.
Serangkaian aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah di Banten dan Bogor serta perusakan dan pembakaran sejumlah gereja di Temanggung, beberapa waktu lalu, merepresentasikan dengan sangat gamblang betapa kompleks dan ruwetnya persoalan kebebasan beragama di republik ini. Bagi negara (baca: pemerintah), persoalan ini sangat dilematis; maju kena mundur kena.
Paradoks
Dalam lanskap ketatanegaraan kita, gagasan tentang kebebasan beragama sebenarnya dinyatakan secara eksplisit di dalam UUD 1945. Dalam Pasal 29 Ayat (1) dinyatakan, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat ini menjadi peneguh identitas negara Indonesia yang bukan negara sekuler, melainkan juga bukan negara agama (posisi yang sebenarnya ambigu!).
Namun, kesan ambiguitas posisi agama seolah dinetralisasi oleh Ayat (2) pada pasal yang sama: ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dilihat dari hierarki ketentuan perundangan, penegasan ayat tersebut seharusnya berimplikasi hukum yang tidak multitafsir. Kebebasan beragama adalah hak sipil warga negara yang dijamin undang-undang. Titik!
Di luar UUD 1945, Indonesia juga mengakui dan meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak sipil setiap individu yang dijamin oleh negara. Kebebasan beragama juga dijamin UU No 39/1999. Dalam struktur kenegaraan, komitmen negara pada HAM diterjemahkan ke dalam kementerian tersendiri melalui Kementerian Hukum dan HAM.
Melihat pranata hukum di atas, eksistensi kebebasan beragama mestinya harus dijunjung tinggi, dikawal dan dilindungi oleh negara. Artinya, menjadi tidak relevan ketika ada sekelompok individu yang coba memberikan tafsiran lain di luar ketentuan teks hukum tersebut.
Kebebasan beragama, dengan demikian, bukanlah ungkapan bersayap yang bersifat kondisional, subyektif, dan tunduk pada ketentuan-ketentuan lokal; ia adalah ketentuan hukum yang obyektif-eksplisit dan, karena itu, bersifat legally binding.
Namun, formulasi indah di atas kertas itu ternyata tak seindah di lapangan. Negara sering kali mempertontonkan paradoks dan dualisme yang justru menganulir kebijakannya sendiri.
Di satu sisi pranata hukum tertinggi menjamin kebebasan beragama, tetapi peraturan-peraturan di bawahnya malah membatasi kebebasan beragama. Di satu sisi negara menyatakan akan menindak tegas para pelaku kekerasan agama, tetapi di sisi lain kekerasan dibiarkan terjadi. Sungguh sebuah kebijakan yang sulit dimengerti!
Sandera politik-kekuasaan
Salah satu penjelasan mengapa negara sering memperlihatkan sikap paradoks dalam konteks kehidupan beragama karena kehidupan beragama masih jadi sandera politik-kekuasaan. Era demokrasi prosedural-elektoral memungkinkan terjadinya pertukaran kepentingan dengan dukungan politik.
Realitasnya, kegamangan negara sering kali didorong oleh kalkulasi untung-rugi, yang ujung-ujungnya adalah kapitalisasi suara dan dukungan politik. Sikap negara (baca: pemerintah), dengan demikian, merupakan eksemplar dari praktik demokrasi prosedural yang—ironisnya— mengorbankan (nilai-nilai) demokrasi substantif. Dalam kondisi semacam ini, sulit menampik kenyataan bahwa kebebasan beragama hanya bekerja pada tataran basa-basi politik (political gimmick), sementara di tingkat praksis kita menghadapi persoalan yang sangat serius.
Merespons persoalan ini, Guy Haarscher (2002; 278) mengajukan solusi menarik yang ia sebut sebagai lowest common denominator policy. Prinsipnya, agar seseorang bisa menerapkan perilaku politik yang benar dan tak melanggar ketentuan hukum yang berlaku dalam negara multikultural, dia tidak boleh ”mengguncang” (shock) orang lain.
Dalam konteks ini, menghormati keyakinan dan nilai agama lain berarti tidak mengatakan apa pun yang barangkali bisa mengganggu mereka. Secara progresif, perdebatan teologis akan didominasi oleh sikap kehati-hatian (sekalipun sebagian orang menyebutnya munafik). Selebihnya, biarlah hukum berbicara!
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/03/01/04511869/quo.vadis.kebebasan.beraga
Masdar Hilmy
Pengajar Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
No comments:
Post a Comment