Dirundung murung oleh gerimis dan langit mendung, delapan truk dan bus beriringan meluncur keluar dari kampus Mubarok, Jalan Raya Parung 72, Pondok Udik, Kemang, Bogor, Jawa Barat. Ratusan polisi mengawal iring-iringan kendaraan yang mengangkut sekitar 200 pengikut Ahmadiyah itu untuk dievakuasi di kantor Kejaksaan Negeri Kabupaten Cibinong, Jawa Barat.
Jumat petang pekan lalu merupakan senja kelam bagi para pengikut Jemaat Ahmadiyah (aliran) Qadiani. Hari itu, polisi mengamankan mereka dari ancaman pengusiran paksa oleh sekelompok warga yang menamakan diri Forum Warga Muslim Nusantara. Dengan wajah tegang—sebagian ada yang menangis sesenggukan—mereka terpaksa meninggalkan kampus tempat mereka akan dilatih sebagai mubalig.
Evakuasi itu merupakan tindak lanjut maraknya aksi protes yang dilancarkan oleh sekelompok warga sepekan sebelumnya. Saat itu ratusan orang, terdiri dari warga setempat, aktivis Front Pembela Islam, dan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, berusaha membubarkan pertemuan tahunan Jemaat Ahmadiyah Indonesia itu. Mereka terlibat bentrok, hingga tujuh aktivis Forum Warga Muslim Nusantara dan 10 pengikut Ahmadiyah terluka.
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia menyesalkan insiden dan pengusiran tersebut. "Tindakan itu melanggar hak asasi manusia. Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah organisasi yang sah," kata Abdul Basit, amir (pimpinan) Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Komnas HAM. "Tindakan kekerasan tersebut mencedarai kebebasan beragama," kata Lies Soegondo, Ketua Sub-Komisi Hak Sipil dan Politik Komnas HAM.
Insiden itu gara-gara perbedaan paham, terutama karena Jemaat Ahmadiyah Indonesia (aliran Qadiani) meyakini Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri, sebagai nabi. Karena Nabi Muhammad oleh kaum muslimin diyakini sebagai nabi terakhir, Amin Djamaluddin, Ketua LPPI, menuding ajaran Ahmadiyah sesat. "Sudah sejak 1994 kami minta agar Ahmadiyah dilarang," katanya.
Ahmadiyah Qadiani juga dituding meyakini kitab Tadzkirah—yang memuat gabungan antara "wahyu" yang diterima Mirza Ghulam Ahmad dan surah-surah Al-Quran. Di halaman 637 kitab Tadzkirah, misalnya, tercantum kalimat, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab suci Qadiani. Dan dengan kebenaran dia diturunkan." Menurut Amin Djamaluddin, kalimat tersebut membajak surah Al-Qadr dalam Al-Quran seenaknya.
Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) pada 1889 di Qadian, India. Dua tahun kemudian ajaran ini mulai memanen kritik keras ketika sang pendiri memakzulkan diri sebagai Imam Mahdi—bahkan kemudian sebagai nabi dan rasul pada 1900. Ia mengaku, pada 1876, untuk pertama kali menerima wahyu Allah ketika ayahnya akan meninggal: "Sekarang ayahmu akan wafat. Maka mulai hari ini Aku dari langit akan menjadi ayah bagimu."
Kenabian Mirza Ghulam Ahmad juga termaktub dalam kitab Barahiyn Ahmadiyah, 1884, "Seorang nabi telah datang ke dunia, namun dunia tidak menerimanya." Pada hari wafat Mirza Ghulam Ahmad, 26 Mei 1908, koran Akhbari Am mengutip ucapan terakhirnya, "Sesuai dengan perintah Allah, aku adalah nabi; maka aku berdosa jika menolaknya…."
Pada 1914 Ahmadiyah pecah dua. Yang satu aliran Qadiani (Anjuman Ahmadiyah Qadiani) yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi bahkan nabi. Yang lain aliran Lahore (Pakistan), yang muncul dengan nama resmi Ahmadiyah Anjuman Isha'ati Islam, pimpinan Khawaja Kamaluddin dan Maulwi Muhammad Ali. Berlawanan dengan aliran Qadiani, aliran Lahore tetap mengakui kenabian Rasulullah SAW, sementara Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujadid alias pembaru.
Menurut Muslih Fathoni dalam Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Ahmadiyah (Lahore) merembes ke Indonesia sejak 1924 melalui Yogyakarta, dibawa oleh Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad. Belakangan mereka membentuk Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Setahun kemudian menyusul Ahmadiyah Qadiani, dibawa oleh Rahmat Ali. Ia mulai berdakwah di Tapaktuan, Aceh, dan dua tahun kemudian pindah ke Padang. Belakangan para pengikutnya membentuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Sebelum insiden Parung, sudah berulang kali para pengikut Ahmadiyah (Qadiani) di Indonesia mendapat tekanan. Mereka pernah dilarang di Subang (Jawa Barat), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), Bali, dan Sumatera Utara. Bahkan jauh sebelumnya, pada 1980, Majelis Ulama Indonesia telah memfatwakan sesatnya Ahmadiyah. "Fatwa itu masih berlaku," kata Utang Ranuwijaya, Wakil Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Ketua MUI, H. Amidhan, "MUI sama sekali tidak menyetujui tindakan kekerasan."
Keputusan MUI itulah yang pada 1994 dijadikan dasar oleh LPPI untuk mengusulkan pelarangan Ahmadiyah kepada Mahkamah Agung. Tapi gagal, karena hal itu bukan wewenang Mahkamah Agung. Menurut Amin Djamaluddin, Mei lalu tim pengawas aliran kepercayaan masyarakat di Kejaksaan Agung sepakat akan melarangnya. Namun hal itu dibantah oleh Suhandoyo, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung.
Pengurus Ahmadiyah tentu menyadari beratnya berbagai tekanan tersebut. Anehnya, meski selalu dikecam, Ahmadiyah Qadiani berkembang cukup meyakinkan. Pada l965, misalnya, jumlah mereka di seluruh dunia baru 10 juta, tapi kini sudah membengkak mencapai 200 juta orang, tersebar di 178 negara. Adapun di Indonesia jumlah mereka diperkirakan sekitar 500 ribu orang, tersebar di 303 cabang. Padahal, pada l970-an hanya sekitar 20 ribu (Tempo, 29 Januari l971).
Karena terus berkembang, pada 1985 Jemaat Ahmadiyah Indonesia membangun sebuah kampus seluas 3,5 hektare di Parung. Selain sebagai kantor pusat, juga sebagai tempat pelatihan para calon mubalig yang akan dikirim ke berbagai daerah.
Menurut Sayuti Azis Ahmad Alhaj, pimpinan mubalig Ahmadiyah Qadiani, pengikut Ahmadiyah juga menjalankan rukun Islam yang lima—tak beda dengan kaum muslimin. "Dan kami juga berpegang pada Al-Quran dan hadis Rasulullah SAW. Mengenai kitab Tadzkirah, "Itu bukan kitab suci tapi kumpulan ilham dari Allah SWT kepada Mirza Ghulam Ahmad," tambahnya.
Mengapa Ahmadiyah Qadiani meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi? Menurut Sayuti, Rasulullah SAW pernah menyatakan, pada akhir zaman kelak umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Ketika itulah akan turun Imam Mahdi untuk mempersatukan kaum muslimin dan meneruskan kepemimpinan Rasulullah SAW.
Di Indonesia, pada 1933, soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad tersebut sudah pernah memicu perdebatan. Kala itu A. Hasan, pendiri Persatuan Islam yang juga guru agama Bung Karno, membentuk kelompok Pembela Islam untuk menantang debat terbuka dengan Abu Bakar Ayub, tokoh Ahmadiyah Qadiani. Dengan mengutip Al-Quran, antara lain surah Al-Ahzab ayat 40, A. Hasan menegaskan bahwa Muhammad adalah rasul dan penutup para nabi alias khataman nabiyyin.
Tapi Abu Bakar Ayub berpandangan lain. Ia mengutip sebuah hadis yang menyatakan, "Katakanlah Muhammad itu khataman nabiyyin, dan jangan katakan tidak ada nabi di belakang Muhammad." Debat terbuka selama tiga hari itu memang juga mempersoalkan sahih-tidaknya hadis tersebut, tapi tidak membuahkan kesimpulan apa pun. Dan akhirnya, kedua belah pihak tetap berpegang pada pendirian masing-masing.
Model penyelesaian yang cukup bermartabat lebih dari setengah abad silam itu mestinya menjadi pelajaran berharga. Beda tafsir mengenai sebuah ajaran tidak seharusnya berujung dengan bentrok fisik seperti yang terjadi di Parung. Jejak A. Hasan dan Abu Bakar Ayub dalam mengatasi beda pendapat mestinya bisa diteladani.
Zed Abidien (Jakarta) dan Deffan Purnama (Bogor)http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/07/18/AG/mbm.20050718.AG115942.id.html (Accessed on 6/23/2011)
No comments:
Post a Comment