H. Yusuf Badri, M.Ag.
Tahun 1930-an, Tuan Hassan melakukan perdebatan dengan tokoh Ahmadiyah Indonesia ketika itu, Abubakar Ayyub. Sejak awal memang Persis menetang Ahmadiyah, sebab ajarannya menyeleweng dari ajaran Islam. Penyelewengannya yang terutama adalah pengakuannya terhadap Murza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan mengaku adanya kitab suci setelah Al-Quran, yaitu Tadzkirah yang diturunkan kepada Murza Gulam Ahmad. Inilah penyelewengan yang sangat fatal. Bila mengaku ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw dan ada kitab suci setelah Al-Quran, kelompok itu jelas keluar dari Islam, tidak termasuk golongan muslim.
Dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan”, H. Tamar Djaja menceritakan debat A. Hassan dengan tokoh Ahmadiyah itu. Dalam perdebatan itu, A. Hassan mengemukakan sebuah “hadis” yang dikutif dari kitab Murza, yang berbunyi: “Di hari Rasulullah Saw meninggal, bumi berteriak, katanya: “Ya Allah, apakah badanku ini akan Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari kiamat?” Maka Allah berfirman kepada bumi itu: “Aku akan jadikan di atas badanmu manusia yang hatinya seperti nabi-nabi.”
Abubakar Ayyub lalu menanyakan tentang riwayat hadis ini, dan A. Hassan menjawabnya tidak tahu, sambil berkata: “Apakah tuan suka hadis ini? Bila tuan suka silahkan pakai, bila tidak silahkan tolak.”
Abubakar Ayyub menolak “hadis” yang disampaikan oleh A. Hasan itu, karena tidak jelas siapa periwinya, dari mana diambilnya, dan di kitab apa tertulisnya. Pengikut Ahmadiyah yang hadir ketika itu bersorak, merasa bangga dengan tokohnya yang akan menang berdebat dengan waktu singkat, sebab A. Hassan tidak bisa menerangkan riwayat hadis yang dibacakannya. Mereka bersorak, dan Ayyub pun merasa dirinya menang. Namun kemudian A. Hassan mengatakan bahwa hadis itu terdapat di kitab Mirza, Tuhfah Baghdad, halaman 11. saat itupun pengkit Ahmadiyah diam seribu bahasa.
Giliran A. Hassan yang menyuruh Abubakar Ayyub agar bertanya kepada nabinya (Mirza) tentang riwayat hadis itu dan dari mana diambilnya, serta tanyakan pula, bagaimana bumi bisa bicara kepada manusia, sebab hadis itu bukan hadis nabi, mengingat bumi berteriak setelah Rasulullah wafat. Jadi, tegas A. Hassan, tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi, dan jawaban Allah itu pun orang lain yang mendengar. Siapa dia? Tanyakan kepada “nabi” Mirza.
Abubakar Ayub ketika itu sebetulnya sudah kalah total, tetapi ia masih berkelit dengan mengatakan bahwa hadis itu, bisa jadi terdapat dalam kitab “Kanzul Ummi,” masih kitabnya Ahmadiyah, namun ia bahkan melemahkan dirinya dengan mengaku tidak membawa kitab tersebut, jadi tidak bisa dilihat.
Selanjutnya A. Hassan menegaskan bahwa dengan adanya “hadis” itu sudah cukup menunjukkan kepalsuan Mirza. Lagi pula, kata A. Hassan, hadis yang dibawakan oleh Mirza itu dengan jelas menyebutkan bahwa nabi (setelah Nabi Muhammad) tidak ada lagi. Yang ada hanya orang-orang yang hatinya seperti nabi.
“Kalau perkataan yang begini terang, tuan mau putar-putar lagi, saya minta diadakan juri. Saya heran, apa sebab Ahmadiyah takut diadakan juri. Juri tidak akan makan orang!” tegas A. Hassan.
Dari perdebatan ini jelas bahwa sebenarnya Abubakar Ayyub tidak memilki hujjah (dalil) yang kuat untuk membela Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi. Meski demikian ia tidak tunduk dan menjadi pengikuti Islam yang baik. Ia tetap menjadi pengikut Ahmadiyah. Memang Abubakar Ayyub dikenal sebagai orang yang pandai memutarbalikkan fakta demi untuk mempertahankan keyakinannya kepada Ahmadiyah.
Hal itu terlihat ketika A. Hassan tak menyebut rawi hadis dan kitab yang memuatnya, keluarlah ejekan dan cemoohan. Namun kektika A. Hassan menyebutkan bahwa hadis itu tertera di kitab Tuhfah Baghdad terbitan Punjab Press Sialkot, Muharram 1311 H, Abubakar Ayyub dan pengikut Mirza lainnya pucat pasi, tetapi mereka tidak berubah keyakinan, tetap menjadi pengikuti Mirza.
Sedikit tentang Ahmadiyah
Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Gulam Ahmad tahun 1989 di Qodyani, India. Mirza lahir di Qodyani, 13 Pebruari 1835 dan meninggal 26 Mei 1908 di Lahore. Di kalangan Jemaat Ahmadiyah, Mirza Gulam Ahmad diyakini sebagai Imam Mahdi, Al-Masih Al-Mau’ud, nabi dan rasul.
Sepeninggal Mirza (1908), kepemimpinan Ahmadiyah dilanjutkan oleh Hadzrat Hafid H. Hakim Nuruddin selaku khalifah I hingga tahun 1914. selanjutnya secara berturut-turut dipilih khalifah II, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965), khalifah III, Hadzrat Hafid Nasir Ahmad (1965-1982), dan khlaifah IV, Hadzrat Mirza Taher Ahmad (1982- hingga sekarang). Ahmadiyyah meyakini, jabatan khalifah harus ada hingga hari kiamat, dan kedudukan kekhalifahan Ahmadiyah berpusat di London, Inggris.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia tahun 1922, dibawa oleh seorang mubaligh Ahmadiyah yang bernama Khawajah Kamaluddin. Dia berhasil menarik beberapa orang dari Perguruan Sumatra Thawalib, di antaranya Ahmad Nuruddin. Selanjutnya, Ahmad Nuruddin dan teman-teman mendapat kesempatan melanjutkan studi di Lahore dan Qadian, dan atas permohonan Ahmad Nuruddin dan kawan-kawan, seorang mubaligh Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali diutus ke Indonesia tahun 1925.
Awalnya, jemaat Ahmadiyah di Indonesia bernama Anjungan Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia, kemudian diganti menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi dua aliran, yaitu JAI yang berdiri tahun 1925, dan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) yang berdiri tahun 1929. JAI terdaftar sebagai Badan Hukum di Dfepartemen Kehakiman RI, 13 Maret 1953 dan dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI, 31 Maret 1953.
Dari sejak awal kemunculannya, Ahmadiyah ditentang oleh kaum muslimin Indonesia yang mayoritas beraliran Sunni, sebab ajarannya dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Penyelewengannya yang esensial adalah, penganut Ahmaddiyah mengaku ada nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad Saw, yaitu Mirza Gulam Ahmad; memiliki kitab suci sendiri, yaitu “Tazkirah” yang kesuciannya diakui sama dengan Al-Quran; serta mengaku ada tanah suci selan Makkah dan Medinah, yaitu Qadyani, dan Rabwah.
Penyelewengan lainnya adalah wahyu tetap turun sampai hari kiamat; surga mereka di Qadian (India) dan Rabwah (Pakistan) yang dikenal dengan nama Bahesti Maqbarah (pekuburan ahli surga), karenanya “kavling surga” di dua tempat itu dijual kepada masyarakat dengan harga yang sangat mahal; wanita Ahmadiyah diharamkan menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah, tetapi laki-laki Ahmadiyah boleh menikah dengan wanita bukan Ahmadiyah; tidak boleh bermakmum kepada yang bukan Ahmadiyah; dan mempunyai sistem penanggalan sendiri, dengan nama bulan: 1. Suluh, 2. Tabligh, 3. Aman, 4. Syahadah, 5. Hijrah, 6. Ikhsan, 7. Wafa, 8. Zuhur, 9. Tabuk, 10. Ikha, 11. Nubuwah, 12. Fatah. Nama tahunnya adalah Hijri Syamsyi (HS).
Dalam kitab Tadzkirah, Mirza Gulam Ahmad menerangkan bahwa ia menerima wahyu dari Tuhan, salah satunya adalah bahwa Tuhan telah memberi barkah kepadanya. Namun wahyu yang diterimanya itu dicampur dengan potongan ayat-ayat Al-Quran, seperti yang tercantum dalam Tadzkirah: 43; Haqiqatul Wahyi: 70, dan Al-Istifta: 79: “Wahai Ahmad, Allah telah memberi barkah kepadamu. Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (Tuhan) Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Quran.”
Kalimat pertama: “Wahai Ahmad, Allah telah memberi barkah kepadamu,” adalah wahyu dari Allah kepada Mirza Gulam Ahmad, sedangkan kalimat kedua, “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar dan seterusnya …” adalah terjemahaan firman Allah yang tertera dalam Al-Quran surat Al-Anfal ayat 17. Namun bagian awal dan akhir ayat tersebut tidak ditulis dengan lengkap. Ratusan ayat Al-Quran lainnya dibajak oleh Mirza Gulam Ahmad yang diakuinya sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepadanya setelah dicampuri dengan ucapan dia kemudian dihimpun dalam “kitab suci” Tadzkirah.
Oleh karena itulah maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tahun 1980 bahwa Ahmadiyah adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Fatwa ini ditindaklanjuti dengan hasil Rapat Kerja Nasional MUI, 4-7 Maret 1984 yang merekomendasikan agar pihak yang berwenang meninjau kembali Surat Keputusan Departemen Kehakiman RI No. 13, tanggal 13 Maret 1953, tambahan Berita Negara No. 26, tanggal 31 Maret 53 tentang status badan hukum Ahmadiyah.
Jauh sebelumnya, Konferensi organisasi-organisasi Islam sedunia yang diadakan di Makkah Al-Mukarramah, Rabiul Awwal 1394/1973 antara lain merekomendasikan bahwa Ahmadiyah adalah suatu sekte yang sangat menghancurkan, menjadikan Islam sebagai semboyan untuk menutupi maksud jahatnya. Golongan Ahmadiyah adalah kafir dan keluar dari Islam, sebab Ahmadayah memikiki kepercayaan bahwa pemimpinnya mengaku nabi, teks Al-Quran diubah-ubah, dan jihad itu tidak ada.
Oleh karena itu organisasi Islam sedunia meminta agar pemerintah-pemerintah Islam melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Gulam Ahmad, dan menganggap mereka sebagai golongan minoritas non-muslim, serta melarang mereka untuk jabatan yang sensitif di dalam negara.
Penolakan Kaum Muslimin
Masyarakat muslim Indonesia umumnya menolak kehadiran dan perkembangan Ahmadiyah di daerahnya. Kasus penolakan ini bisa dilihat, misalnya, di Sumatra Timur tahun 1935, Medan (1964), Cianjur (1968), Kuningan (1969), Nusa Tenggara Barat (1976), Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Surabaya/Jawa Timur, Parung/Bogor (1981), Riau (1990), Palembang, Sumatra Barat, Jakarta, termasuk Timor Timur ketika masih bergabung dengan NKRI. Sikap penolakan itu terus berlanjut dengan intensitas yang berbeda, tergantung pada tingkat ekslusivitas dan agrivitas kegiatan Ahmadiyah setempat.
Upaya penolakan terhadap Jemaat Ahmadiyah diwujudkan dalam berbagai bentuk aksi, seperti mengirim surat pernyataan keberatan dan keresahan akan kehadiran Ahmadiyah kepada Pemerintah Daerah dan Pusat serta mempublikasikannya dalam berbagai media massa. Bahkan dengan berdemo, seperti di Parung, Bogor, masyarakat muslim menentang perkembangan Ahmadiyah dengan mnyegel tempat kegiatan mereka. Persis mempunyai cara sendiri dalam menolak Ahmadiyah, yaitu dengan cara berdebat.
No comments:
Post a Comment