Tempo, 18 November 1989
JANJI Khalifatul Masih IV di London, Mirza Thahir Ahmad (MTA), membubarkan jemaah Ahmadiyah Qadiani di seluruh dunia, ditunggu Ahmad Hariadi (AH). Kini ia menagihnya.
Pada 17 Oktober silam, khalifah disuratinya, sesudah setahun keduanya ber-mubahalah -- perang doa untuk mencari pembenaran. Usai mubahalah, AH, 37 tahun, masih waras dan sehat walafiat. Bila AH tidak dilaknat Allah atau "mati dalam hina" selama setahun bermubahalah, MTA berjanji mengajak penganut Ahmadiyah (Qadiani) kembali kepada "Islam Yang Haq".
Mubahalah, 30 Agustus 1988, secara tertulis disetujui MTA. Atas nama Allah, ia bersumpah: "Mirza Ghulam Ahmad yang mendakwahkan diri nabi dan rasul Allah, seorang yang benar dalam pengakuannya. Semua yang dikatakannya itu "wahyu" yang diterimanya dari Allah, benar dan bukan dari angan-angannya." Ketika AH jadi dai Ahmadiyah di Lombok, seandainya polisi tak mencegah, lehernya mungkin digorok massa. Ia kalah bermubahalah dengan Haji Irfan. Setelah 10 tahun mengabdi, ia keluar dari Ahmadiyah, 3 April 1988, setelah dari Brunei dan Malaysia.
Ayah lima anak yang tinggal di Garut ini menulis buku Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiani. Kini, AH dai di Rabithah Alam Islami (RAI). Lahir di Pare, Kediri, Jawa Timur. Sejak berusia 17 tahun, anak keempat dari 9 bersaudara dalam keluarga Haji Mahfudz ini mengembara untuk mendalami ajaran Islam. Setelah masuk PGA, dan belajar di 12 pondok pesantren, AH nyaris putus asa. Lalu ia kenal dengan Ahmadiyah, lewat seorang temannya, hingga diangkat pendakwah. Karena ada mubahalah dari MTA pada 1988 di Masjid Al-Fadl, London -- terbuka kepada penentang Ahmadiyah di seluruh dunia -- AH ikut mengembalikan senjata mubahalah itu ke alamat khalifah. Atas nama Allah, ia bersumpah: Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah dari Qadian (India) itu pendusta yang mengaku "nabi" dan "rasul". Dalam mubahalahnya, AH menulis, "Jika akidah saya dusta, saya bersedia menerima laknat Allah."
Mestinya janji itu dibuktikan 30 Agustus lalu. Khalifah ingkar? Menurut H. Mahmud Ahmad Cheema, Amir atau Ketua Tabligh Jemaah Ahmadiyah Indonesia, "Mubahalah dengan AH belum resmi." Beberapa syarat tidak dipenuhinya. Misalnya, AH tidak memuat surat mubahalah lengkap dan apa adanya di surat kabar. Wawancaranya dengan harian Terbit, setahun lalu, "Itu bukan pemuatan apa adanya." Rujukannya itu Quran ayat 61, surat al-Imran. AH memenuhi syarat ini. Tapi, mubahalah harus orang besar, atau mewakili sedikitnya 10 orang. "Ahmad Hariadi itu kecil, tidak mewakili siapa-siapa, kecuali dirinya," kata Cheema. "Bila tidak sah, kenapa tak sejak dulu ditolak khalifah?" tanya AH. Katanya, mubahalah tidak bisa dibatalkan cuma oleh Cheema atau Syafi R. Batuah. Yang terakhir ini, 23 September lalu, mengirim surat kepada AH meminta bermubahalah anak istrinya dan orang yang jadi pengikutnya. "Ahmad Hariadi jelas menang, Ahmadiyah sudah kalah," kata Muhammad Natsir, 79 tahun, salah seorang tokoh RAI.
Sedangkan Prof. Dr. H.M. Rasyidi menampik tuduhan Ahmadiyah tentang RAI sebagai organisasi asing. "Organisasi ini milik orang Islam yang terbanyak jumlahnya ada di sini," katanya. RAI menerbitkan buku AH yang disebut tadi. Menurut Muhammad Amin Djamaluddin, ia pernah bermubahalah -- dan PB Ahmadiyah melayaninya -- sehingga muncul surat-menyurat sejak 18 Desember 1988 sampai 27 Februari 1989. Kepala LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam), yang berkantor di Masjid Al-Ihsan, Pasarrumput, Jakarta, itu menetapkan waktu tiga hari. "Tidak satu pun terbukti," katanya. Pimpinan Ahmadiyah menganggap, mubahalah cara mempertahankan eksistensi. "Jadi tidak benar bahwa mubahalah sekadar politik kami menarik pengikut baru," kata Cheema. "Itulah keyakinan kami." Cheema memberi khotbah Jumat Khalifatul Masih IV di Masjid Al-Fadal, London -- mubahalah terbuka ke seluruh dunia sejak 10 Juni 1988.
Ada contoh versi Ahmadiyah: binasanya Ziaul Haq bersama kapalnya di udara. "Itu perbuatan Allah. Semua ahli tak bisa meramal penyebabnya," urai Cheema. Mubahalah muncul karena sikap Zia terhadap Ahmadiyah Qadiani. Dan MTA hijrah ke London, dari kejaran pembunuhan di Pakistan.
Dr. Quraisy Shihab, ahli tafsir dan Ketua MUI, mengakui ayat 61 surat al-Imran tentang mubahalah Nabi Muhammad saw. ketika berhadapan dengan Yahudi -- yang mengetahui ajaran beliau serta mengakuinya sebagai Nabi. Allah memerintahkan Nabi menentang. Tapi, mubahalah tak sempat berlangsung. "Perintah Allah untuk mubahalah khusus untuk Nabi Muhammad," katanya. Allah memberi jaminan-Nya: Doa Nabi pasti dikabulkan. Mubahalah Nabi ditujukan kepada orang non-Islam. Mubahalah antara sesama muslim, itu tak logis. Kalau ada yang mengajak mubahalah, tanyai dulu siapa dia. Dan tewasnya Ziaul Haq, Presiden Pakistan, ditolaknya sebagai pembenaran mubahalah Ahmadiyah. "Mubahalah bukan mukjizat," ucap Quraisy Shihab.
Ahmadiyah Qadiani kukuh di Indonesia, setelah Keputusan Menteri Kehakiman, 13 Maret 1953. Tapi Jaksa Agung RI, 29 Mei 1980 dan 31 Oktober 1980 menilai, "Akidah Ahmadiyah mengenai kenabian dan sebagai Imam Mahdi Mirza Ghulam Ahmad bertentangan dengan yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia." Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 1984 menyatakan, Ahmadiyah Qadiani itu sesat dan menyesatkan. Mereka mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad saw. "Di samping sesat, mereka juga menyesatkan orang lain," kata K.H. Hasan Basri, Ketua Umum MUI. Dan setelah mubahalah, lalu menyusul apa lagi? Zakaria M. Passe, Ahmadie Thaha, Agung Firmansyah, Hasan Syukur
JANJI Khalifatul Masih IV di London, Mirza Thahir Ahmad (MTA), membubarkan jemaah Ahmadiyah Qadiani di seluruh dunia, ditunggu Ahmad Hariadi (AH). Kini ia menagihnya.
Pada 17 Oktober silam, khalifah disuratinya, sesudah setahun keduanya ber-mubahalah -- perang doa untuk mencari pembenaran. Usai mubahalah, AH, 37 tahun, masih waras dan sehat walafiat. Bila AH tidak dilaknat Allah atau "mati dalam hina" selama setahun bermubahalah, MTA berjanji mengajak penganut Ahmadiyah (Qadiani) kembali kepada "Islam Yang Haq".
Mubahalah, 30 Agustus 1988, secara tertulis disetujui MTA. Atas nama Allah, ia bersumpah: "Mirza Ghulam Ahmad yang mendakwahkan diri nabi dan rasul Allah, seorang yang benar dalam pengakuannya. Semua yang dikatakannya itu "wahyu" yang diterimanya dari Allah, benar dan bukan dari angan-angannya." Ketika AH jadi dai Ahmadiyah di Lombok, seandainya polisi tak mencegah, lehernya mungkin digorok massa. Ia kalah bermubahalah dengan Haji Irfan. Setelah 10 tahun mengabdi, ia keluar dari Ahmadiyah, 3 April 1988, setelah dari Brunei dan Malaysia.
Ayah lima anak yang tinggal di Garut ini menulis buku Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiani. Kini, AH dai di Rabithah Alam Islami (RAI). Lahir di Pare, Kediri, Jawa Timur. Sejak berusia 17 tahun, anak keempat dari 9 bersaudara dalam keluarga Haji Mahfudz ini mengembara untuk mendalami ajaran Islam. Setelah masuk PGA, dan belajar di 12 pondok pesantren, AH nyaris putus asa. Lalu ia kenal dengan Ahmadiyah, lewat seorang temannya, hingga diangkat pendakwah. Karena ada mubahalah dari MTA pada 1988 di Masjid Al-Fadl, London -- terbuka kepada penentang Ahmadiyah di seluruh dunia -- AH ikut mengembalikan senjata mubahalah itu ke alamat khalifah. Atas nama Allah, ia bersumpah: Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah dari Qadian (India) itu pendusta yang mengaku "nabi" dan "rasul". Dalam mubahalahnya, AH menulis, "Jika akidah saya dusta, saya bersedia menerima laknat Allah."
Mestinya janji itu dibuktikan 30 Agustus lalu. Khalifah ingkar? Menurut H. Mahmud Ahmad Cheema, Amir atau Ketua Tabligh Jemaah Ahmadiyah Indonesia, "Mubahalah dengan AH belum resmi." Beberapa syarat tidak dipenuhinya. Misalnya, AH tidak memuat surat mubahalah lengkap dan apa adanya di surat kabar. Wawancaranya dengan harian Terbit, setahun lalu, "Itu bukan pemuatan apa adanya." Rujukannya itu Quran ayat 61, surat al-Imran. AH memenuhi syarat ini. Tapi, mubahalah harus orang besar, atau mewakili sedikitnya 10 orang. "Ahmad Hariadi itu kecil, tidak mewakili siapa-siapa, kecuali dirinya," kata Cheema. "Bila tidak sah, kenapa tak sejak dulu ditolak khalifah?" tanya AH. Katanya, mubahalah tidak bisa dibatalkan cuma oleh Cheema atau Syafi R. Batuah. Yang terakhir ini, 23 September lalu, mengirim surat kepada AH meminta bermubahalah anak istrinya dan orang yang jadi pengikutnya. "Ahmad Hariadi jelas menang, Ahmadiyah sudah kalah," kata Muhammad Natsir, 79 tahun, salah seorang tokoh RAI.
Sedangkan Prof. Dr. H.M. Rasyidi menampik tuduhan Ahmadiyah tentang RAI sebagai organisasi asing. "Organisasi ini milik orang Islam yang terbanyak jumlahnya ada di sini," katanya. RAI menerbitkan buku AH yang disebut tadi. Menurut Muhammad Amin Djamaluddin, ia pernah bermubahalah -- dan PB Ahmadiyah melayaninya -- sehingga muncul surat-menyurat sejak 18 Desember 1988 sampai 27 Februari 1989. Kepala LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam), yang berkantor di Masjid Al-Ihsan, Pasarrumput, Jakarta, itu menetapkan waktu tiga hari. "Tidak satu pun terbukti," katanya. Pimpinan Ahmadiyah menganggap, mubahalah cara mempertahankan eksistensi. "Jadi tidak benar bahwa mubahalah sekadar politik kami menarik pengikut baru," kata Cheema. "Itulah keyakinan kami." Cheema memberi khotbah Jumat Khalifatul Masih IV di Masjid Al-Fadal, London -- mubahalah terbuka ke seluruh dunia sejak 10 Juni 1988.
Ada contoh versi Ahmadiyah: binasanya Ziaul Haq bersama kapalnya di udara. "Itu perbuatan Allah. Semua ahli tak bisa meramal penyebabnya," urai Cheema. Mubahalah muncul karena sikap Zia terhadap Ahmadiyah Qadiani. Dan MTA hijrah ke London, dari kejaran pembunuhan di Pakistan.
Dr. Quraisy Shihab, ahli tafsir dan Ketua MUI, mengakui ayat 61 surat al-Imran tentang mubahalah Nabi Muhammad saw. ketika berhadapan dengan Yahudi -- yang mengetahui ajaran beliau serta mengakuinya sebagai Nabi. Allah memerintahkan Nabi menentang. Tapi, mubahalah tak sempat berlangsung. "Perintah Allah untuk mubahalah khusus untuk Nabi Muhammad," katanya. Allah memberi jaminan-Nya: Doa Nabi pasti dikabulkan. Mubahalah Nabi ditujukan kepada orang non-Islam. Mubahalah antara sesama muslim, itu tak logis. Kalau ada yang mengajak mubahalah, tanyai dulu siapa dia. Dan tewasnya Ziaul Haq, Presiden Pakistan, ditolaknya sebagai pembenaran mubahalah Ahmadiyah. "Mubahalah bukan mukjizat," ucap Quraisy Shihab.
Ahmadiyah Qadiani kukuh di Indonesia, setelah Keputusan Menteri Kehakiman, 13 Maret 1953. Tapi Jaksa Agung RI, 29 Mei 1980 dan 31 Oktober 1980 menilai, "Akidah Ahmadiyah mengenai kenabian dan sebagai Imam Mahdi Mirza Ghulam Ahmad bertentangan dengan yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia." Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 1984 menyatakan, Ahmadiyah Qadiani itu sesat dan menyesatkan. Mereka mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad saw. "Di samping sesat, mereka juga menyesatkan orang lain," kata K.H. Hasan Basri, Ketua Umum MUI. Dan setelah mubahalah, lalu menyusul apa lagi? Zakaria M. Passe, Ahmadie Thaha, Agung Firmansyah, Hasan Syukur
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/11/18/AG/mbm.19891118.AG21440.id.html (Accessed 6/23/2011)
No comments:
Post a Comment