DIDAMPINGI dua anak buahnya, Ajun Komisaris Polisi Mikael Parlindungan Sitanggang bergegas masuk pelataran Masjid An-Nur di Jalan Bubutan 2, Surabaya. Sore itu, Senin pekan lalu, Kepala Kepolisian Sektor Bubutan itu datang khusus ke masjid tersebut untuk mengecek apakah rumah ibadah itu sudah bersih dari simbol Ahmadiyah.
Namun yang dilihat Sitanggang tak seperti yang diharapkan. Polisi ini geram melihat papan bertulisan "Jemaat Ahmadiyah" masih terpacak di dinding depan Masjid An-Nur. Dengan tegas, Sitanggang memerintahkan sejumlah warga Ahmadiyah di situ menurunkan papan nama masjid yang menjadi pusat kegiatan Ahmadiyah di Jawa Timur ini. Sitanggang menyatakan, ia mendapat perintah dari atasannya untuk melaksanakan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, yang melarang segala aktivitas Ahmadiyah di wilayahnya.
Tak punya pilihan, warga Ahmadiyah di masjid itu akhirnya menurunkan papan nama tersebut. "Kami menghormati keputusan itu," kata Sibthe Ahmad Hasan, salah satu mubalig Ahmadiyah di Bubutan, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Peristiwa di Masjid An-Nur itu terjadi tiga jam setelah surat keputusan tentang pelarangan itu diumumkan Soekarwo pada Senin pekan lalu. Dasar pelarangan itu, antara lain, aktivitas Ahmadiyah dianggap bisa memicu gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain warga Ahmadiyah dilarang menyebarkan agamanya, SK itu menunjuk sejumlah larangan lain. Di antaranya, warga Ahmadiyah tidak boleh memasang papan nama Ahmadiyah di tempat umum, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan. Penggunaan atribut Ahmadiyah juga dilarang. "Termasuk ritual dengan pengeras suara," kata Soekarwo.
Terbitnya keputusan itu, menurut Soekarwo, dilatarbelakangi tuntutan sejumlah organisasi massa Islam di Jawa Timur yang meminta pembubaran Ahmadiyah. Mereka, antara lain, Front Pembela Islam dan Forum Umat Islam. Organisasi ini bahkan mengancam akan turun ke jalan jika Gubernur tak segera bersikap. Soekarwo pun keder. Karena kewenangannya terbatas, ia mengaku hanya bisa mengakomodasi tuntutan itu dengan penerbitan SK pelarangan aktivitas. "Pembubaran bukan wilayah saya," katanya.
Pihak kepolisian, kejaksaan, dan Tentara Nasional Indonesia di Jawa Timur diminta mengawal pelaksanaan keputusan itu. Soekarwo mengklaim penggodokan keputusan pelarangan ini telah melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Majelis Ulama Indonesia, pakar hukum Islam, dan sejumlah pakar hukum tata negara. Pihak Ahmadiyah juga diajak urun rembuk.
Menurut Soekarwo, pelarangan sifatnya lebih ke aktivitas, bukan pada keyakinannya. Karena tak ada sanksi, Soekarwo berharap, sekitar seribu warga Ahmadiyah di Jawa Timur mematuhi keputusan itu. Jika ada warga Ahmadiyah yang bandel, Kepala Kepolisian Jawa Timur Inspektur Jenderal Badrodin Haiti menjamin tak ada pihak yang main hakim sendiri atau melakukan perbuatan yang merusak. "Kami kawal keputusan ini," katanya.
Setelah SK itu terbit, pusat-pusat aktivitas Ahmadiyah memang menjadi sepi. Di Masjid An-nur, pengajian rutin dan sejumlah aktivitas Jemaat Ahmadiyah yang biasanya digelar tiap hari tidak tampak lagi. Adapun di Masjid Baiturrahman, Madiun, papan nama Ahmadiyah diturunkan. Di pusat aktivitas Ahmadiyah Kota Madiun itu, gambar sejumlah khalifah Ahmadiyah juga dicopot. Langganan siaran televisi Ahmadiyah internasional di masjid itu juga dihentikan. Tapi azan tetap memakai pengeras suara. "Karena azan kami sama dengan yang lain," kata Ketua Majelis Ahmadiyah Madiun, Gunawan Sutrisno.
Kendati menghormati keputusan itu, Ahmadiyah bukan berarti menerima pelarangan aktivitasnya. Juru bicara Ahmadiyah Indonesia, Mubarik Ahmad, mengatakan pihaknya akan mengambil jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menganulir SK itu. Soekarwo sendiri menganggap enteng soal rencana gugatan itu. "Ya, monggo, ini kan negara hukum," kata dia.
SETELAH terjadinya insiden penyerangan Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, yang menewaskan empat warga Ahmadiyah pada awal Februari lalu, tuntutan pembubaran Ahmadiyah semakin nyaring disuarakan sejumlah organisasi Islam. Kali ini desakannya dialamatkan ke pemerintah daerah. Di Samarinda, misalnya. Pada 25 Februari lalu, Wali Kota Samarinda Syahrie Ja'ang menerbitkan surat pelarangan aktivitas Ahmadiyah di wilayahnya. Syahrie berdalih larangan itu untuk mencegah Ahmadiyah berkembang biak. "Saya tak mau kejadian Cikeusik terulang di sini," katanya.
Yang teranyar adalah terbitnya Peraturan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, yang melarang aktivitas Ahmadiyah di Bumi Parahyangan, Kamis pekan lalu. Substansi pelarangannya sama dengan surat keputusan di Jawa Timur. Alasannya idem ditto, untuk menjamin keamanan dan ketertiban. Bedanya ada pada soal sanksi. Menurut Heryawan, jika peraturan ini dilanggar, pihaknya akan menghentikan aktivitas Ahmadiyah di Jawa Barat. "Peraturan ini juga melarang tindakan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah," katanya.
Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang menjadi basis Ahmadiyah di tatar Sunda, mengklaim pernah mengeluarkan surat keputusan bupati pada 2004 yang melarang kegiatan Ahmadiyah. Menurut Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda, keputusan itu tak digubris dan anggota Jemaat Ahmadiyah malah berkembang luas, semula hanya ratusan kini sudah di atas 3.000 orang. Kendati sepanjang dua pekan lalu didesak menerbitkan peraturan daerah tentang pelarangan Ahmadiyah oleh sejumlah organisasi Islam, Aang tak terpancing. "SK itu sudah cukup. Saat ini cuma butuh ketegasan pemerintah pusat," katanya.
Bagi Provinsi Sumatera Selatan, produk daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah bukan barang baru. Pada September 2008, Gubernur Sumatera Selatan Mahyudin mengeluarkan surat keputusan melarang aktivitas Ahmadiyah di Sumatera Selatan. Keputusan ini disambut dengan penurunan sejumlah papan nama dan atribut Ahmadiyah. Aktivitas ajaran ini pun dihentikan dan jemaahnya mendapat pembinaan.
Dari semua produk kepala daerah itu, ada kesamaan. Selain merupakan turunan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, produk hukum lokal itu muncul karena kencangnya desakan ormas Islam terhadap pembubaran Ahmadiyah. Kewenangan kepala daerah melarang aktivitas Ahmadiyah, menurut Soekarwo, misalnya, juga memiliki dasar hukum berupa Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah pusat dan daerah.
Terbitnya sejumlah produk kepala daerah itu rupanya menuai hujan kritik. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kewarganegaraan mengecam produk lokal itu dan penerbitannya melanggar hak kebebasan warga negara untuk memeluk agama. Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim malah tak habis pikir. Seharusnya, menurut Ifdhal, pemerintah daerah melindungi dan memfasilitasi kebebasan beragama warganya. Dalih menjaga ketertiban, kata Ifdhal, bukan wewenang kepala daerah, melainkan kepolisian. Sejumlah keputusan itu juga dianggap melanggar konstitusi, yang menjamin kebebasan beragama.
Ahmadiyah, kata dia, berkaitan dengan keyakinan, bukan ranah yang harus diatur pemerintah. SKB tentang Ahmadiyah dianggap tidak bisa menjadi dasar hukum pelarangan karena kebebasan beragamanya justru dijamin konstitusi. Ifdhal meminta Presiden melalui Menteri Dalam Negeri turun membenahi maraknya pelarangan Ahmadiyah di daerah. "Aturan dari kepala daerah itu inkonstitusional," katanya. Hal yang sama diutarakan guru besar hukum administrasi dan tata usaha negara Universitas Gadjah Mada, Sofyan Effendy. "Mereka sudah masuk ranah pribadi," katanya.
Ahli administrasi negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin, menambahkan aturan dari kepala daerah itu bisa dianulir oleh Pengadilan Tata Usaha Negara atau banding ke atasan kepala daerah itu, yaitu Menteri Dalam Negeri. Menurut Zainal, dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah, Menteri Dalam Negeri berhak mendesak gubernur mencabut keputusan yang telah ia buat. Kebebasan beragama, kata dia, dijamin oleh konstitusi. "Jadi logikanya tak bisa kalah oleh keputusan kepala daerah," kata Zainal.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berjanji akan mengevaluasi keputusan kepala daerah tentang pelarangan Ahmadiyah itu. Sepanjang tidak jadi bertentangan dengan SKB dan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kata dia, pelarangan itu tidak masalah. "Kan, bukan keyakinannya yang dilarang, tapi aktivitasnya," kata dia. Pengurus Ahmadiyah di daerah juga berencana membawa keputusan pelarangan Ahmadiyah di wilayahnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Anton Aprianto (Jakarta), Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya), Ishommudin (Madiun), Ahmad Fikri (Bandung), Ivansyah (Kuningan)http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/03/07/HK/mbm.20110307.HK136116.id.html (Accessed on 6/23/2011)
No comments:
Post a Comment