M. Dawam Rahardjo, cendekiawan
TEMPO Interaktif, Dalam diskusi di suatu stasiun TV, KH Dr Mustafa Ya’qub mengeluarkan pandangan tentang solusi kasus Ahmadiyah dengan mengajukan dua usul alternatif. Pertama, membubarkan Ahmadiyah dan menjadikannya organisasi terlarang sebagaimana telah dilakukan terhadap PKI. Dan jika ingin tetap diakui sebagai muslim, bekas anggota Ahmadiyah harus “kembali kepada ajaran Islam yang benar”, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai pemegang otoritas keagamaan di Indonesia atau Departemen Agama sebagai otoritas politik yang mengatur kehidupan beragama. Kedua, meminta kepada Jemaat Ahmadiyah untuk mendirikan agama baru di luar Islam, dengan konsekuensi tidak boleh menjalankan syariat Islam atau mendasarkan doktrin keagamaannya kepada Al-Quran dan Sunnah. Pandangan itu secara implisit menyatakan bahwa, jika salah satu dari alternatif itu tidak dijalankan, tindak kekerasan dari umat Islam akan tetap berlangsung, yang artinya tidak bisa ditolak pembenarannya. Menurut dia, salah satu dari dua pilihan itu, jika dilaksanakan, akan menyelesaikan masalah hingga tuntas.
Dalam komentarnya, Muhammad Guntur Romli menjelaskan bahwa solusi mengeluarkan Ahmadiyah dari lingkungan Islam sudah dilaksanakan di Pakistan, tetapi ternyata tidak menyelesaikan masalah, terbukti diskriminasi dan tindakan kekerasan terus saja berlangsung terhadap Jemaat Ahmadiyah dan agama-agama lain yang semula berkaitan dengan Islam, seperti Bahai. Doktrin “bagimu agamamu, bagiku agamaku” (lakum dinukum waliyaddin), sebagaimana dikemukakan oleh Ya’qub, ternyata tidak berlaku. Karena itu, solusinya bagi Guntur adalah perlindungan hukum oleh negara kepada setiap warga negara yang memiliki hak-hak sipil tanpa memandang perbedaan ras, suku, agama, atau aliran politik selama tidak melanggar hukum dan undang-undang.
Solusi alternatif pertama Ya’qub bisa saja dijajaki. Prosedurnya adalah, MUI sebagai wakil umat Islam bisa mengajukan gugatan tertentu, misalnya penodaan agama yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah sebagaimana dikemukakan oleh Ya’qub. Namun penggugat harus bisa membuktikan bahwa keyakinan dan kegiatan Ahmadiyah itu bersifat melanggar hukum dan undang-undang, misalnya melakukan aksi-aksi kekerasan, melakukan provokasi yang menimbulkan keresahan masyarakat atau melakukan pembohongan terhadap publik. Demikian pula perlu diajukan dasar hukumnya, bahwa negara bisa menghakimi atau menghukum dan mengkriminalkan suatu keyakinan pribadi atau kelompok masyarakat dalam konteks negara Pancasila. Dalam hal ini pengadilan harus mendasarkan diri atau berpegang pada ketentuan konstitusi, khususnya UUD 1945 mengenai dasar negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan kebebasan beragama serta menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Sepanjang yang dicatat dalam buku, tesis, disertasi, atau hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh LSM, misalnya Setara Institute atau Wahid Institute, bahkan lembaga pemerintah seperti Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia, Ahmadiyah tidak pernah melakukan kegiatan yang melanggar hukum status sosial. Di lingkungan Ahmadiyah sendiri juga tidak pernah terjadi konflik internal, apalagi eksternal. Bahkan Ahmadiyah hanya akhir-akhir ini menjadi sasaran dan korban aksi-aksi kekerasan dari kelompok-kelompok umat Islam sendiri. Ketika telah menjadi korban aksi-aksi kekerasan itu pun, pimpinan Ahmadiyah melarang anggotanya membalas dengan kekerasan. Terhadap pemerintahan di Indonesia dan di seluruh dunia, Jemaat Ahmadiyah melarang dirinya dan anggotanya melakukan kegiatan politik, apalagi melakukan oposisi terhadap pemerintah yang sah.
Ahmadiyah adalah organisasi Islam yang menerima prinsip sekularisme yang bergerak di wilayah civil society. Karena itu, anggota Ahmadiyah dinilai sebagai warga negara yang baik di semua negara Barat yang sekuler dan diizinkan mendirikan kantor pusatnya di London, Inggris, bahkan melakukan dakwah secara berbudaya. Jika akan dibubarkan, apa salah Ahmadiyah, selain percaya kepada Islam mengikuti misi Ahmadiyah mengikuti mazhab Hanafi ?
Jika opsi kedua saran Ta’qub yang diikuti, maka itu adalah langkah murtad yang tidak dikehendaki oleh Ahmadiyah. Murtad adalah hak asasi manusia menurut Dokumen Hak Asasi Manusia PBB. Tapi misi Ahmadiyah ketika didirikan adalah justru ingin merestorasi syariat Islam di India yang dinilai oleh Ghulam Ahmad telah menyimpang dan mengalami distorsi. Memang berbeda dengan aliran Islam yang lain, visi Ahmadiyah bukanlah dalam versi hukum fikih, melainkan mengikuti haluan tasauf atau spiritualisme dan, karena itu, doktrin yang paling mendasar dari Ahmadiyah adalah kasih sayang dan perdamaian dan menolak aksi kekerasan.
Untuk mendirikan agama baru, tidak mungkin dilakukan oleh Ahmadiyah, karena Ghulam Ahmad tidak punya konsep keagamaan selain Islam. Ia mengibaratkan dirinya sebagai bulan dan Muhammad sebagai matahari, sehingga ia hanya merupakan pantulan dari sinar Muhammad (al-Nur al-Muhammady). Ia sebenarnya tidak menamakan diri sebagai nabi pembawa syariat baru, melainkan hanya utusan Tuhan yang membawa kabar baik, yaitu seruan kasih sayang dan perdamaian. Ia tidak pernah mengaku membawa kitab suci sendiri, melainkan hanya membuat catatan tentang ilham-ilham kenabian yang diperolehnya. Salah satu keistimewaan, bahkan Ghulam Ahmad dan putranya, Basyiruddin Mahmud Ahman, telah menulis kitab Tafsir Al-Quran yang berjilid-jilid tebalnya.
Dan jika Ahmadiyah diminta mendirikan agama baru, apakah mereka diperbolehkan mengikuti ajaran Al-Quran dan Sunnah bermazhab Hanafi? Apakah mereka boleh menjalankan rukun Islam yang lima dan diperbolehkan menunaikan ibadah haji? Pengalaman di Pakistan, mereka tidak diperbolehkan salat di masjid dan tidak boleh melakukan ibadah haji, karena mereka dianggap sebagai non-muslim. Hal ini berarti melanggar kebebasan beragama di negara Pancasila.
Atas dasar analisis dan argumen di atas, solusi tuntas untuk kasus Ahmadiyah adalah sebagai berikut. Pertama, mencabut SKB Tiga Menteri yang ternyata memicu aksi kekerasan itu. Kedua, mengembalikan fungsi Departemen Agama sebagai wakil NKRI menjadi lembaga penegak konstitusi dan merestorasi hak-hak sipil, khususnya kebebasan beragama. Ketiga, mencabut fatwa MUI yang menghakimi Ahmadiyah sebagai aliran sesat yang dampaknya melegitimasi tindakan kekerasan atas nama agama. Majelis ulama sendiri juga perlu direformasi dari otoritas keagamaan yang seolah-olah pemilik hak paten agama Islam, atau sebagai lembaga penjaga akidah Islam, menjadi lembaga komunikasi internal di antara kelompok-kelompok Islam serta antara Islam dan kelompok agama lain.
Perlu diingat, dewasa ini dikatakan bahwa agama itu, khususnya Islam, tidak mengajarkan kekerasan. Namun, kenyataannya, kehidupan agama adalah sumber konflik yang menimbulkan disintegrasi nasional. Sementara itu, berkembang pula persepsi bahwa Indonesia meluncur ke arah “negara gagal”, khususnya dalam menegakkan hukum dan keamanan bagi warganya. Kegagalan ini tampak jelas dalam kegagalannya mencegah timbulnya aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Karena itu, pemecahan konflik atas nama agama yang terus-menerus terjadi itu harus diselesaikan hingga tuntas. *http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/02/11/kol,20110211-319,id.html (Accessed on 6/23/2011)
No comments:
Post a Comment