Tuesday, June 7, 2011

Solusi Masalah Ahmadiyah Indonesia

Oleh Djohan Effendi*
Wakil Presiden Jusuf Kalla pekan lalu diberitakan akan mencoba merumuskan solusi yang tepat atas masalah jemaah Ahmadiyah Indonesia yang difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia. Selain itu, kita membaca berita bahwa pakem Kejaksaan Agung RI akan menyelenggarakan rapat untuk membahas masalah ini. Tulisan ini dimaksudkan memberi masukan kepada pihak berwenang untuk menemukan solusi tersebut.

Pertama-tama perlu kita catat bahwa jemaah Ahmadiyah Indonesia sudah hadir di bumi Nusantara ini sejak 82 tahun yang lalu. Mubalig Ahmadiyah pertama datang ke Indonesia pada 1925. Kedatangan mubalig itu didahului oleh kepergian beberapa pemuda Indonesia ke Qadyan, India, untuk meneruskan studi agama Islam. Merekalah yang mengundang agar dikirim mubalig Ahmadiyah ke Indonesia. Sejak awal kedatangannya telah timbul reaksi dari kalangan ulama Islam. Terjadi perdebatan dan polemik. Hal ini terjadi di Minangkabau dan Jakarta serta dilakukan dengan adu argumentasi. Tidak ada tuntutan pelarangan, tidak ada berita perusakan. Kedua belah pihak saling menghormati pendirian masing-masing.

Persoalan Ahmadiyah kembali menjadi hangat setelah Rabithah Alam Islami memfatwakan bahwa Ahmadiyah nonmuslim dan meminta negeri-negeri Islam melakukan tindakan terhadap Ahmadiyah. Karena itu, pemerintah Arab Saudi, misalnya, tidak memperkenankan penganut Ahmadiyah masuk ke Tanah Haram untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Lembaga legislatif Republik Islam Pakistan menerbitkan amendemen konstitusi Pakistan dan menetapkan bahwa penganut paham Ahmadiyah minoritas nonmuslim. Pemerintah Pakistan tidak melarang organisasi Ahmadiyah bahkan, sesuai dengan konstitusi, menyediakan kursi dalam parlemen Pakistan selaku kelompok minoritas.

Masalah yang timbul di Indonesia bukan pada fatwa sesat itu sendiri, karena fatwa semacam itu bukan hal baru, bahkan muncul sejak awal kehadiran jemaah tersebut di negeri kita. Fatwa sesat-menyesatkan adalah masalah yang terjadi di semua agama sejak mula. Semua paham keagamaan mengklaim bahwa paham keagamaannyalah yang benar dan yang lain salah, bahkan sesat. Sebab, kehadiran sebuah paham baru justru karena menganggap paham-paham keagamaan yang lain tidak benar. Tanyalah kepada teman-teman yang sekarang aktif menyebarkan apa yang mereka namakan paham salaf, apakah paham-paham selain mereka itu benar atau sesat? Pasti jawabannya hanya paham salaf yang mereka anutlah yang benar dan yang lain menyimpang dari ajaran yang benar. Muhammadiyah tidak akan muncul sekiranya mereka menganggap paham dan praktek keagamaan yang dianut dan dilakukan oleh kaum nahdliyin itu benar. Justru karena kalangan Muhammadiyah dan organisasi sealiran dengannya menganggap banyak praktek di kalangan nahdliyin yang merupakan bidah--setiap bidah adalah sesat dan setiap kesesatan itu dalam neraka--mereka mengajarkan dan melakukan praktek keagamaan berbeda yang mereka anggap benar.

Menganggap paham keagamaan orang lain sebagai sesat tidaklah menjadi masalah selama tidak memaksakan paham sendiri untuk dianut oleh orang lain dan sekaligus berusaha menafikan hak hidup paham keagamaan orang lain yang berbeda dengan paham keagamaannya sendiri. Problem yang berada di hadapan pemerintah kita sekarang adalah bagaimana menanggapi tuntutan beberapa kalangan agar melarang paham dan organisasi jemaah Ahmadiyah Indonesia karena telah difatwakan sesat oleh MUI. Saya rasa masalah ini harus dipikirkan dan dipertimbangkan semasak-masaknya.

Pertanyaan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana sebenarnya hubungan antara manusia dan institusi, yang dalam hal ini hubungan antara warga negara dan negara? Jelas sekali bahwa yang primer adalah manusia, sedangkan institusi hanya bersifat sekunder. Warga negara sebagai manusia tetap ada walau tanpa negara. Adapun negara tanpa warganya tidak akan ada. Negara dibentuk oleh manusia sebagai warganya untuk kepentingan mereka. Sebab, bagaimana mungkin sebuah negara menafikan hak sipil warganya tanpa alasan konstitusional sebagai kesepakatan bersama semua warga.

Hubungan negara dengan warganya juga harus dilihat dari perspektif hubungan manusia dengan Tuhan Al-Khaliq. Bumi ini dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia sebagai tempat kediaman mereka. Kalau Tuhan Al-Khaliq sendiri memberikan kebebasan kepada manusia untuk hidup di atas bumi-Nya tanpa pembatasan hanya bagi mereka yang beriman kepada-Nya, bagaimana mungkin sebuah negara atau aparat negara membatasi hak sipil warganya? Apalagi antara sesama warga negara.

Menanggapi wacana pelarangan suatu paham keagamaan atau kepercayaan, saya mengajukan beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan, terutama oleh aparatur pemerintah. Pertama, kalau tindak pelarangan itu didasarkan atas fatwa sebuah lembaga keagamaan, di manakah tempat lembaga keagamaan itu dalam struktur kenegaraan Republik Indonesia? Apakah ia berada dalam struktur kenegaraan atau bahkan berada di atas struktur kenegaraan, sehingga setiap fatwa lembaga tersebut mengikat dan karena itu harus ditaati dan dilaksanakan oleh negara dalam ini pemerintah RI?

Kedua, kalau sebuah paham keagamaan dilarang, apakah hak sipil para penganutnya sebagai warga negara RI hilang, terutama dalam kaitan kebebasan berkeyakinan? Kalau para penganut paham tersebut berkukuh tetap meyakini paham yang dilarang itu, apakah mereka akan dianggap sebagai pelaku tindak kriminal dan karena itu harus dikenai sanksi hukum pidana?

Ketiga, kebebasan beragama tegas-tegas dijamin oleh konstitusi. Begitu juga Piagam Hak Asasi Manusia dan dokumen-dokumen pelengkapnya telah diratifikasi oleh negara kita. Dengan demikian, bukankah pelarangan dan kriminalisasi penganutan suatu paham keagamaan merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia?

Mengingat hal-hal di atas, saya kira tak ada alternatif lain kecuali melaksanakan ketentuan yang ditegaskan dalam konstitusi dan karena itu tidaklah selayaknya negara ikut campur dalam fenomena sesat-menyesatkan kemudian mengambil tindakan melanggar konstitusi dengan mengurangi, apalagi menafikan, kebebasan berkeyakinan warga negara. Jaminan konstitusi atas kebebasan berkeyakinan adalah jaminan bagi warga negara untuk menganut keyakinannya, entah agama, entah paham keagamaan atau kepercayaan secara tulus tanpa paksaan dari siapa pun dan golongan apa pun. Apabila negara ikut campur atau memihak suatu kelompok dalam fenomena kontroversi pemahaman agama, rasa aman dan berkeyakinan akan terganggu. Penganutan suatu paham keagamaan atau kepercayaan, betapapun anehnya paham tersebut, tidak boleh dikriminalisasikan selama tidak melanggar ketertiban masyarakat dan kesopanan umum. Berbeda atau menyimpang dari paham anutan mayoritas tidak bisa menjadi alasan pelarangan sebuah paham. Kalau Tuhan Al-Khaliq sendiri memberikan kebebasan kepada manusia ciptaan-Nya untuk beriman atau tidak kepada-Nya, bagaimana mungkin sebuah negara bertindak melebihi Tuhan sendiri?

Djohan Effendi adalah cendekiawan muslim

(Koran Tempo, Sabtu, 12 Januari 2008).

No comments:

Post a Comment