Keturunan Ksatria!
Maka “naik kuda”lah Tjokroaminolo. Tokoh ini dengan segera datang ke Yogya bersedia menghadapi sebuah debat terbuka mengenai itu Tafsir yang heboh. Tokoh-tokoh lanjut usia yang berada di sana waktu itu boleh menceritakan jalannya peristiwa begini: Pertemuan diadakan di Pakualaman sebagian besar dihadiri orang-orang Muhammadiyah. Alangkah ributnya hadirin waktu itu. Sangat ribut sampai-sampai pidato tokoh tua ini tidak terdengar. Maka naiklah Tjokro — kalau tidak salah ke atas meja — sembari berseru dengan suaranya yang dahsyat: “Ini Tjokroaminoto keturunan ksatria! Mau ribut coba ribut!”. Maka hadirin pun heninglah. Namun tak ada perdebatan. Dan Tafsir itu akhirnya terbit pada tahun itu juga, 1928. Orang bisa melihatnya sekarang di musium: baru jilid I-III berisi juz ‘Amma atau bagian ke-30. Di dalam kata pengantar bisa pula dibaca tulisan Agus Salim yang dengan bersemangat membela Tafsir itu.
Tapi itu Agus Salim. Bagi ulama Muhammadiyah lebih selamat bila mereka menyingkiri segala cara penafsiran yang bagi mereka sama dengan pengertian ta’wil. Ta’wil satu kata yang biasa digunakan untuk mengecam adalah “penyeret-nyeretan teks” ke arah maksud-maksud yang jauh yang lazimnya sudah direncanakan lebih dulu. Semua lektur Ahmadiyah kemudian mereka hindari.
Tertanggal 5 Juli 1928, Pengurus Besar Muhammadiyah mengeluarkan maklumat ke cabang-cabangnya di seluruh pelosok. Isinya: melarang mengajarkan ilmu dan faham Ahmadiyah di lingkungan Muhammadiyah. Tapi maklumat tersebut hanyalah paralel belaka dengan keputusan lain yang diambil dalam Kongres tahun itu juga: yang mengecam disiplin partai SI plus Tafsir Muhammad Ali.
Dalam kongres tersebut juga terjadi semacam kegaduhan: yakni ketika sidang membicarakan persoalan Djojosugito dan Muh Husni. R. Ng. Djojosugito direktur yang pertama dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogya, waktu itu Ketua Muhammmadiyah cabang Purwokerto. Sedang Husni tak lain Sekretaris Jenderal PB Muhammadiyah. Kedua-duanya adalah tokoh-tokoh Ahmadiyah.
Tetapi pro dan kontra untuk menggeser mereka rupanya berjalan sengit dalam sidang. Maka berdirilah Kyai Abdullah Sirad — sambil menangis. Kyai memohon kepada sidang supaya demi persaudaraan Islam, semua hiruk-pikuk itu dihentikan saja. Supaya kedua tokoh itu sendiri disuruh memilih: atau Muhammadiyah atau Ahmadiyah …… Dan kedua-duanya, di bawah tekanan perasaan, memilih yang terakhir.
Sudah tentu. Sebab baik Djojosugito maupun Husni termasuk orang-orang pertama yang berhubungan dengan mubaligh Lahore, Mira Wali Ahmad Baig. Djojosugito bahkan di belakang hari dikenal sebagai penterjemah Tafsir The Holy Quran — yang dikerjakan Tjokroaminoto ke bahasa Melayu — kali ini ke bahasa Jawa.
Tetapi keputusan untuk memilih juga mengenai seorang tokoh lain. Meskipun kedudukannya dalam Muhammadiyah tidak begitu penting, ia harus disebut sebagai orang pertama dalam usaha penyebaran faham Ahmadiyah Lahore. Ialah Sudewo, guru HIS Muhammadiyah. Di belakang hari orang tahu belaka bahwa hampir semua terjemahan lektur Ahmadiyah ke dalam bahasa Belanda tak lain berkat jerih-payah tangannya.
Yang terpenting tentu saja kembali Tafsir Maulana Muhammad Ali
Rupanya begitu Tjokroaminoto terlibat dalam polemik mengenai terjemahan tafsir tersebut ke bahasa Melayu, Sudewo diam-diam menterjemahkannya ke bahasa Belanda dan itulah de Heilige Qoeran, terbit pada 1935 beriringan dengan pengantarnya Inleiding tot de Studie van Den Heilige Qoer’an. Tetapi waktu itu Ahmadiyah sebagai organisasi belum lagi berdiri. Dan justru disiplin organisasi Muhammadiyah tersebut memaksa tokoh-tokoh seperti Djojosugito dan Moh. Husni mencari wadah lain buat aktifitas mereka. Pada tahun itu juga mereka mendirikan Indonesische Ahmadiyah Beweging — mendapat badan hukum pada 1929 yang sekarang dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI). Bedakan dari Jema’at Ahmadiyah Indonesia atau JAI perkumpulan kaum Qadian.
Kecil saja perkumpulan Ahmadiyah itu. Hanya 10 atau beberapa belas orang yang menyatakan bai’at (prasetia) pada tahun tersebut. Bahkan sekarang ketika anggota Muhammadiyah sudah berjumlah lebih setengah juta (SI pada 1918 sudah beranggota 800. 000 sedang Muhammadiyah ketika Ahmadiyah Lahore berdiri beranggota 175 ribu) anggota gerakan Lahore hanya berjumlah 500 sampai seribu orang. Dengan catatan terdapat juga para simpatisan, yakni mereka yang mengikuti pengajian-pengajian di cabang-cabang.
Di Jawa Timur misalnya, di mana gerakan Lahore terhitung kuat (terutama Kediri) simpatisan itu berjumlah lima ribu orang. Adapun organisasi kaum Qadian sendiri (JAI) paling banyak sekarang beranggota 20.000 orang di seluruh tanah-air. Jadi ternyata kedua perkumpulan yang hampir sama terkenalnya dengan Muhammadiyah itu bukan perkumpulan yang “laku”.
Mengapa? Beberapa hal mungkin bisa menjelaskan sebab-sebabnya. Untuk menjadi anggota GAI (Lahore) misalnya orang harus bersedia menyerahkan 1/16 penghasilannya kepada organisasi. Mereka yang tidak mampu diberi batas minimal 1%. Bagi Ahmadiyah Qadian (JAI) bahkan pungutan itu minimal 1/16 dan maksimal 1/3. Itu semuanya di luar zakat yang wajib untuk semua orang Islam yang besarnya 1/40 alias 2% dari harta-lebih dan bukan dari penghasilan.
Bisa disimpulkan bahwa, seperti dinyatakan tokoh-tokoh Ahmadiyah sendiri, mereka yang menyatakan bai’at dan masuk organisasi adalah orang-orang yang dengan sendirinya bersedia menjadi aktivis yang bisa juga berbentuk da’wah pribadi. Dan da’wah memang dilaksanakan dengan rajin khususnya oleh jemaat Qadian — meskipun tidak boleh dikatakan melebihi atau sama gencar dengan da’wah kalangan Kristen.
Hanya saja bisa dilihat bahwa dalam pelaksanaan da’wah kedua kelompok itu tetap saja konvensionil. Yang mereka “serang” biasanya adalah alam fikiran: mereka menyebarkan brosur-brosur atau melayani debat. Padahal sebagian besar rakyat bukanlah orang-orang yang “rasionil” dan siap berubah pendapat lewat fikiran. Banyak orang misalnya tertarik kepada Muhammadiyah — yang dulu juga dikenal ahli berdebat– justru oleh amal sosialnya seperti sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit yang banyak.
Sedang kaum Ahmadi tidaklah masyhur dalam bidang ini. Tetapi sebaliknya merekapun tidak pernah menggunakan taktik “pintu belakang” atau membonceng kekuatan-kekuatan lain secara tidak sportif dan karena itu tak pernah terdengar berita kericuhan di Indonesia dalam hal Ahmadiyah. Toh faktor materi ajaran sendiri turut pula menentukan.[]
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1974/09/21/AG/mbm.19740921.AG65421.id.html
No comments:
Post a Comment