Friday, June 3, 2011

SKB dan Mitos Islam Moderat

Islamlib.com, 10/07/2008
Oleh Hatim Gazali

Karena kemunculannya yang demikian, SKB—walau tidak dikenal dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia—memberikan peluang memunculkan kekerasan dan konflik sosial. Ketika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap JAI, sejumlah kekerasan dan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah dan rumah-rumah pengikut Ahmadiyah berlangsung semarak. SKB ini potensial disalah-gunakan untuk melakukan kekerasan di Tanah Air. Dia bisa dijadikan sebagai licence to kill oleh sebagian kalangan yang ekstrem.

Beberapa hari lalu sebuah televisi swasta menayangkan debat hangat tentang SKB Ahmadiyah. Yang dihadirkan adalah kelompok yang kontra dan membela hak hidup Ahmadiyah. Dialog ini tampak kurang kondusif. Di sana-sini teriakan takbir “Allahu Akbar” menggema sehingga tampak mengganggu fokus dan konsentrasi para narasumber yang hadir. Kelompok pertama yang membela hak hidup Ahmadiyah diwakili Usman Hamid dan Abd Moqsith Ghazali, sementara kelompok kontra diwakili Mahendradata dan Adnin Armas.

Sebenarnya, yang dipersoalkan antara yang pro dan kontra Ahmadiyah tidaklah sama. Kelompok pro ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga Ahmadiyah, sementara yang kontra Ahmadiyah mempersoalkan teologi Ahmadiyah yang dianggap sesat. Memang, tak bisa dipungkiri bahwa vonis sesat terhadap Ahmadiyah bukan hanya datang dari kelompok kontra yang hadir di studio saat itu. Jauh sebelum itu, KH. Hasyim As’ary, pendiri Nahdlatul Ulama, berpendapat bahwa ajaran Ahmadiyah berbeda dengan tafsir Islam mainstream di Indonesia.

Hal subtansial yang menyebabkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dinilai sesat adalah pengakuan adanya nabi setelah nabi Muhammad. Jelas, sebagaimana ditunjukkan sejarah, orang yang mengklaim nabi bukanlah fenomena baru. Musailamah adalah salah satu dari orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi. Di Indonesia, Ahmad Mushaddeq beberapa bulan lalu juga telah memproklamirkan diri sebagai nabi, walau akhirnya melakukan pertobatan. Atas klaimnya itu, Mushaddeq telah dinyatakan bersalah dan dipenjarakan.

Sementara, kelompok yang membela hak hidup Ahmadiyah seperti Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) tidak mendasarkan pembelaanya kepada aspek teologis, tetapi lebih kepada hak-hak sipil yang mestinya dilindungi negara. Ini membuktikan bahwa pembelaan terhadap Ahmadiyah bukanlah sebuah justifikasi terhadap kebenaran teologi Ahmadiyah, melainkan sebagai perjuangan agar JAI mendapatkan hak yang sama dalam melaksanakan agama dan keyakinan bangsa Indonesia sebagaimana dijamin UUD 1945.

Penulis berpandangan bahwa AKKBB yang terdiri dari pelbagai LSM dan organisasi masyarakat itu memiliki pandangan yang berbeda dengan Ahmadiyah. Abd. Moqsith Ghazali, salah seorang narasumber dan anggota AKKBB, dalam debat itu menjelaskan hal tersebut. Bahwa dirinya memiliki pendirian teologis yang berbeda dengan Ahmadiyah. Karena itu, ketidaksetujuan FPI dan kelompok-kelompok yang menolak AKKBB tidak menukik pada pokok hal yang dipersoalkan oleh AKKBB. FPI dan organisasi di bawahnya telah menuding AKKBB sebagai anggota Ahmadiyah itu sendiri. Ini tentu perlu klarifikasi. Abdurrahman Wahid yang getol membela hak-hak sipil jemaat Ahmadiyah sebagai warga negara jelas bukan anggota atau simpatisan JAI.

Masa Depan SKB

Terlepas dari pro-kontra di atas, SKB tiga menteri yang melarang JAI menyebarkan ajaran dan keyakinannya telah keluar. Kini ia bergulir sebagai bola liar yang rentan disalahgunakan kalangan-kalangan tertentu. Kendati SKB ini tidak dengan tegas memvonis sesat dan bubar terhadap Ahmadiyah, tetapi kronologi munculnya bermula dari klaim sesat oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang terdiri dari unsur kejaksaan, kepolisian, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama.

Karena kemunculannya yang demikian, SKB—walau tidak dikenal dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia—memberikan peluang memunculkan kekerasan dan konflik sosial. Ketika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap JAI, sejumlah kekerasan dan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah dan rumah-rumah pengikut Ahmadiyah berlangsung semarak. SKB ini potensial disalah-gunakan untuk melakukan kekerasan di Tanah Air. Dia bisa dijadikan sebagai licence to kill oleh sebagian kalangan yang ekstrem. Lihat saja reaksi beberapa kelompok masyarakat di Banjarmasin, Palembang, Cianjur, Bekasi dan beberapa daerah lainnya yang menuntut pembubaran Ahmadiyah. Walaupun poin keempat SKB itu telah menyebutkan bahwa negara menjamin keselamatan anggota JAI, peluang kekerasan dan konflik sosial tak bisa ditutupi.

Karena beresikonya SKB ini, Ahmadiyah kini tengah mengajukan judicial review. Jalur-jalur hukum, diplomasi dan dialog tampaknya perlu dikembangkan sebagai pemecah persoalan, bukan dengan aksi-aksi kekerasan. Kekerasan bukan cara terbaik dalam memecahkan perbedaan pendapat dan tafsir atas agama. Kekerasan hanya relevan dalam hukum rimba dan bukan dalam hukum positif di Indonesia.

Mitos Islam Moderat

Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini telah mencoreng image keberislaman di Indonesia yang dikenal moderat dan demokratis. Bahkan sebagian orang secara ekstrem berpandangan bahwa Islam moderat di Indonesia hanya mitos belaka. Ini, saya kira, karena kelompok-kelompok pro-kekerasan makin berani unjuk kekuatan di tengah diamnya kelompok atau ormas keagamaan yang berhaluan moderat.

Citra Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang mengembangkan pandangan dan sikap moderat, terkikis oleh aksi segelintir orang yang melakukan aksi kekerasan. Akibatnya, di tengah pergaulan global, umat Islam akan semakin terkucilkan dan terisolasi karena image buruk tersebut. Sejumlah prestasi yang telah dicapai oleh NU dan Muhammadiyah pasca 11 September 2001 untuk menampilkan wajah Islam Indonesia yang ramah dan demokratis tereliminasi oleh kekerasan yang dilakukan kelompok Islam garis keras.

Hal ini membuktikan bahwa membangun Islam rahmat, santun dan anti kekerasan perlu menjadi skala prioritas di masa-masa mendatang. Tentu, tak cukup hanya dengan mengutuk tragedi Monas tersebut, melainkan disertai pula oleh langkah-langkah yang lebih maju. Di antaranya, adalah memberikan pemahaman kepada segenap umat Islam untuk menyikapi perbedaan agama dan tafsir keagamaan secara arif dan nir-kekerasan. Dalam konteks inilah, NU dan Muhammadiyah diharapkan menjadi organisasi terdepan dalam membela hak-hak sipil warga negara Indonesia, meminimalisasi kekerasan dan mengembangkan Islam rahmat lil ‘alamin. Hanya dengan cara inilah eksistensi dan citra Islam sebagai agama yang santun dan ramah akan pulih kembali. []

http://islamlib.com/id/artikel/skb-dan-mitos-islam-moderat

No comments:

Post a Comment