ISTANA Kepresidenan rajin melontarkan ancaman setiap kali kelompok radikal melakukan kekerasan. Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan "akan menertibkan kelompok-kelompok yang menggunakan label agama untuk kekerasan".
Ancaman yang sama disiarkan setelah peristiwa Monas, ketika Front Pembela Islam menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, pada Juni 2008. Kini ancaman serupa dilontarkan Presiden setelah penyerbuan atas penganut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Ahad tiga pekan lalu. "Kepada penegak hukum, agar dicarikan jalan yang sah untuk dilakukan pembubaran dan pelarangan organisasi massa yang melakukan anarki," kata Presiden tiga hari setelah kejadian.
Toh, ancaman itu tak pernah dilaksanakan. Sejumlah organisasi massa terus melakukan kekerasan. Kepolisian Negara Republik Indonesia tahun lalu mencatat, Front Pembela Islam, Forum Betawi Rempug, dan Barisan Muda Betawi melakukan setidaknya 50 kali kekerasan.
Seberapa susah membubarkan organisasi massa anarkis? Satya Arinanto, anggota staf khusus wakil presiden, mengatakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1986 tentang Organisasi Kemasyarakatan memungkinkan pembubaran. Ia mengakui, undang-undang itu tak lagi sesuai dengan demokrasi. "Meski begitu, kita harus berpatokan pada hukum positif yang berlaku," ujarnya.
Dalam undang-undang itu, aturan pembubaran organisasi masyarakat tercantum pada bab VII. Menurut pasal 13, pemerintah dapat membekukan pengurus organisasi kemasyarakatan yang melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan asing tanpa persetujuan pemerintah, atau memberikan bantuan kepada asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara. Jika organisasi yang pengurusnya dibekukan tetap melakukan kegiatan serupa, pemerintah dapat membubarkannya.
Dalam peraturan pemerintah yang memerinci undang-undang itu, disebutkan kegiatan mengganggu keamanan dan ketertiban umum meliputi menyebarluaskan permusuhan antar-suku, agama, ras, dan golongan; memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa; merongrong kewibawaan atau mendiskreditkan pemerintah; menghambat pelaksanaan program pembangunan; serta kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Teknisnya, sebelum membekukan pengurus organisasi, pemerintah harus mengirim teguran tertulis minimal dua kali dalam sepuluh hari. Jika teguran tak diindahkan dalam satu bulan, pemerintah memanggil pengurusnya. Jika panggilan tak dipenuhi, pemerintah segera membekukan kepengurusan. Untuk organisasi yang bersifat nasional, pemerintah pusat meminta pertimbangan dan saran Mahkamah Agung.
Satya menjelaskan, beleid itu produk lama yang tak lagi sejalan dengan perlindungan hak asasi manusia yang diatur Pasal 28 Undang-Undang Dasar. Tapi Undang-Undang Dasar Pasal 28-J ayat 2 juga menyebutkan, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang." Artinya, kata ahli hukum tata negara itu, "Kebebasan berserikat dan berkumpul dibatasi oleh undang-undang."
Ia mengatakan aturan pembekuan dan pembubaran organisasi masih tetap berlaku. "Selama undang-undang itu belum dicabut, tetap bisa dipakai," ujarnya. "Soal bertentangan dengan konstitusi, masih harus diuji dulu oleh Mahkamah Konstitusi."
Pengamat hukum tata negara, Irman Putra Sidin, berpendapat pemerintah harus lebih dulu mengikuti tahapan teguran, pembekuan, baru pembubaran. Ia menganggap rekomendasi Mahkamah Agung mutlak diperlukan sebelum pemerintah mengambil keputusan soal itu. "Mekanisme bertahap itu bagian dari jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul agar pemerintah tak sewenang-wenang," ujarnya. "Pembubaran merupakan langkah terakhir."
Setelah berkali-kali mengancam, apakah kini pemerintah serius akan membubarkan organisasi yang melakukan tindakan anarkistis? "Jangan semua dilimpahkan ke Presiden," kata Sekretaris Kabinet Dipo Alam. "Pemangku kepentingan lain, seperti Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat, juga harus bersikap, dong."
Budi Setyarso, Okta Wiguna, Setri Yasrahttp://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/02/21/LU/mbm.20110221.LU136004.id.html (Accessed 6/23/2011)
No comments:
Post a Comment