Ulil Abshar Abdalla Mahasiswa PhD Universitas Harvard dan peneliti di Freedom Institute Jakarta
Fatwa harus secara tegas dibedakan dengan hukum. Keduanya tak boleh dicampuradukkan. Fatwa adalah pendapat hukum yang dikeluarkan oleh ulama atau sarjana yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam. Orang yang mengeluarkan fatwa disebut mufti. Fatwa sama sekali tak mengikat. Kedudukannya persis seperti pendapat medis yang dikeluarkan dokter. Seorang pasien biasa mencari pendapat kedua dan seterusnya sebagai perbandingan. Begitu pula dalam fatwa: seseorang yang tak puas dengan fatwa A bisa mencari ulama lain untuk memperoleh fatwa B.
Dalam Islam, ada semacam "pasar bebas fatwa" yang memperlihatkan betapa cairnya diskursus agama, tidak seperti dibayangkan oleh kalangan fundamentalis dan konservatif yang cenderung ingin "membekukan" situasi yang cair itu. Setiap orang bebas memberikan vote of confidence kepada fatwa tertentu atau mencabutnya. Fatwa yang mendapat dukungan luas akan menjadi semacam standar normatif. Fatwa yang tak laku di pasaran akan gugur dengan sendirinya.
Tapi, pada akhirnya, tak ada sebuah fatwa yang benar-benar diikuti oleh semua penganut Islam. Tidak seperti agama Katolik, Islam sama sekali tak mengenal otoritas puncak yang memegang hak tunggal untuk memberikan kata putus. Dalam Islam, klerikalisme sama sekali tak dikenal. Struktur sosial Islam lebih mirip agama Protestan yang bersifat "poliarkis", yang kekuasaannya tersebar ke segala penjuru. Dalam Islam tak ada "paus" atau "Vatikan". Sebuah fatwa bisa saja dibantah oleh fatwa lain. Dalam hukum Islam, sejumlah pendapat hukum (baca: fatwa) tidak bisa saling membatalkan (al-ijtih�d la yunqadlu bi al-ijtih�d). Fatwa ulama A hanyalah salah satu di antara lusinan fatwa yang lain; masing-masing berhak ada dan tak bisa saling membatalkan. Perkara umat percaya pada salah satu fatwa, itu urusan lain.
Hukum sama sekali berbeda watak: ia bersifat mengikat dan universal, dalam pengertian berlaku untuk semua warga negara dalam batas-batas geografi tertentu. Hukum muncul ke permukaan melalui proses "penetapan politik" (enactment) dalam parlemen. Ia kurang-lebih mencerminkan konsensus normatif yang berlaku dalam masyarakat. Karena ia berlaku universal, hukum tidak mengenal batas-batas sektarian. Hukum selayaknya berlaku untuk semua pemeluk agama.
Tentu hukum tidak lahir dalam ruang sosial yang kosong. Hukum bisa saja diilhami oleh norma yang berlaku dalam masyarakat. Jika sebuah fatwa bisa dianggap sebagai cerminan dari aspirasi normatif yang berlaku dalam masyarakat, ia bisa saja mengilhami rumusan sebuah hukum. Tapi batas antara fatwa dan hukum tetap tak bisa dikaburkan. Fatwa adalah urusan rumah tangga suatu komunitas agama tertentu. Ia ibarat kepompong yang sangat terbatas. Jika fatwa hendak melampaui kepompongnya sendiri dan ingin menjadi hukum yang berlaku universal, ia harus menjalani uji publik serta harus pula melampaui proses penting, yakni penetapan politik lewat parlemen. Hanya gara-gara didukung oleh ayat suci, fatwa tidak bisa meminta "jatah gratis" menjadi hukum.
Karena itu, fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang sesatnya sekte Ahmadiyah adalah urusan rumah tangga umat Islam sendiri. Negara sama sekali tak diikat oleh hukum itu. Tugas pemerintah bukan ikut-ikutan menyokong pendapat kelompok itu untuk memberangus keberadaan kelompok lain. Dalam silang-sengketa doktrinal yang biasa terjadi dalam sebuah agama, pemerintah tak boleh menjadi partisan. Tugas pemerintah adalah seperti "polisi lalu lintas" yang menjaga agar semua anggota masyarakat menikmati kebebasan melaksanakan keyakinan mereka masing-masing. Syukur-syukur negara bisa bertindak lebih jauh lagi, yakni mendorong dialog antarsekte atau antaragama. Kalaupun tak sanggup mencapai tahap ini, pemerintah cukup melakukan pekerjaan yang minimal saja: menjaga kebebasan berkeyakinan semua kelompok tanpa pandang bulu.
Ini semua adalah kebenaran sederhana yang semestinya diketahui oleh semua pihak. Tapi arus konservatisme yang sekarang meruyak dalam tubuh umat Islam tampaknya membuat banyak orang mengalami miopia atau kekaburan pandangan. Ada pihak yang mengatakan bahwa Ahmadiyah tidak bisa ditoleransi, karena mereka mengaku Islam, tapi tidak mengikuti doktrin standar dalam agama itu. Hanya ada dua jalan: kembali ke "jalan yang benar" atau keluar dari Islam sama sekali.
Pandangan ini memiliki kelemahan mendasar. Pertama, sesat-tidaknya sebuah sekte biasanya bersifat relatif; tentu sekte tertentu sesat dalam pandangan sekte lain. Setiap tindakan menyesatkan biasanya mengandung elemen politis, yakni kehendak sekte tertentu untuk menggusur pengaruh sekte lain yang dianggap pesaing.
Kedua, kalaupun sekte tertentu dianggap sesat dalam sebuah agama, ia bisa saja kehilangan "ruang hidup" sebagai warga agama melalui proses ekskomunikasi, misalnya. Tapi ia tak kehilangan ruang hidup sama sekali sebuah warga negara. Hukum melindungi ruang hidup untuk semua warga negara tanpa melihat ikatan sektarian. Karena itu, kebebasan beragama dan keyakinan berlaku tanpa pandang bulu. Fatwa penyesatan hanya sebatas menutup ruang hidup warga agama, tapi bukan warga negara. Lagi pula fatwa itu bisa dibantah dengan fatwa lain. Sekali lagi, fatwa dan hukum harus dipisahkan.
Jika negara diperbolehkan menentukan mana kepercayaan yang lurus dan mana yang bengkok, di sini kita membiarkan pengaburan batas antara fatwa dan hukum. Tugas negara adalah menegakkan hukum yang berlaku untuk semua golongan, bukan fatwa yang sifatnya partikular. Negara yang menjadi alat sekte tertentu untuk mengadili iman sekte lain adalah negara abad pertengahan yang tak layak lagi dipertahankan saat ini. Tampaknya, sejumlah kelompok dalam Islam mencoba menggiring negara ke arah yang sama sekali berbahaya ini.http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/04/21/KL/mbm.20080421.KL126933.id.html (Accessed on 6/23/2011)
No comments:
Post a Comment