Tetapi bahkan Moh. Natsir, murid ulama A. Hassan, musuh Ahmadiyah Qadian itu, menggunakan banyak keterangan Mohammad Ali (Lahore) untuk catatan kaki sebuah bukunya tentang shalat. Juga buku kecil Agus Salim tentang Isra Mi’raj (dicetak kembali oleh Tintamas pada 1966) yang nyaris merupakan pindahan dari The Holy Qoeran Muhammad Ali untuk bagian yang sama — yakni jalan fikiran yang mengantarkan kepada kesimpulan bahwa Isra Mi’raj itu peristiwa rohani dan bukan peristiwa fisik. Adapun Bahrum Rangkuti, pada 1949 seniman ini menterjemahkan Bentuk Dasar Ekonomi Lama karangan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifah ke-II Ahmadiyah Qadiani.
Setelah itu bisa pula ditunjuk Tafsir Qur’an Departemen Agama. Tafsir ini tidak hanya menukil The Holy Qur’an Muhammad Ali maupun The Holy Quran Yusuf Ali, tapi bahkan menterjemahkan mentah-mentah sebagian pengantar The Holy Qur’an Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad di atas (TEMPO, 12 Januari 1974).
Tetapi kesimpulan yang paling menonjol dari seluruh “peninggalan” Ahmadiyah ialah: mereka telah memberikan senjata yang bagus bagi umat Islam setidak-tidaknya dalam apologi — menghadapi serangan Eropa yang terutama santer sampai sesudah Perang Dunia ke-I. Senjata ini adalah salah-satu- dari dua senjata: yang pertama telah diberikan oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha atau Jamaludin Al-Afghani, yang telah lebih dahulu dibaca di Indonesia. Merekalah yang dikenal pertama kali menaikkan harga diri umat muslim dari menampakkan keindahan Islam di atas agama dan faham-faham Eropa yang selama ini mereka pandang dengan perasaan minder.
Tetapi Muhammad Ali dan buku-buku kaum Ahmadi telah “menyerang dengan lebih langsung”. Buku-buku yang mengupas Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan kitab-kitab agama-agama lain, berasal dari mereka — hal-hal yang tidak pernah muncul dari bumi Mesir atau Arab umumnya sampai pada tahun-tahun yang lebih akhir. Seakan-akan mewarisi ilmu ulama klasik Syahrastani yang mengarang kitab Al-Milal wan-Nihal (Agama-Agama dan Pandangan-Pandangan Hidup — buku perbandingan agama yang pertama di dunia), dari India bermunculan buku-buku kristologi menurut versi Islam. Dan itulah yang diterjemahkan atau menjadi sumber penulisan baru di Indonesia.
De Bronnen van Het Christendom misalnya, karangan Sudewo terbit pada 1931 di Sukabumi. Seiring dengan itu adalah De Ceboerte van Jezus in Het Licht van Den Heiligen Qoer-an, terjemahan Sudewo dari pengarang Basyarat Ahmad, terbit di Yogyakarta.
Pada tahun 1937 muncul pula dari Ahmadiyah Qadian empat buah buku dan brosur: Jezus Dalam Bibel serta Nabi lsa Anak Allah? — oleh M. Sadiq HA, terbitan Medan dan Jakarta. Dua yang lain adalah Kebenaran Nabi Muhammad Menurut Bijbel dan Nabi Isa Menurut Bijbel oleh M. Rahmat Ali HAOT, Jakarta.
Itulah buku-buku perbandingan agama atau kristologi yang pertamakali di tangan umat Islam di Indonesia. Baru sesudah itu, di belakang hari, mahasiswa Islam di sini menerima buku perbandingan agama Prof. Dr. Syalabi (Kairo). Djarnawi Hadikusumo lantas mengarang pula dua jilid komentar terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Drs Hasbullah Bakry menulis Nabi Isa Dalam Al-Quran dan Nabi Muhammad dalam Bibel. Tapi yang sangat populer adalah brosur-brosur kecil keluaran Jajasan Pembela Islam (YAPI) dan penerbit Anoa di Surabaya. Di sini menulis orang-orang muda dengan voltase tinggi, sebagian dari mereka ini warga Ahmadiyah Qadian seperti Saleh A. Nahdi. Pada umumnya semuanya berfikir menurut jalan fikiran Ahmadiyah.
Enam Tahun Lagi
Tapi itu berarti bahwa jalan fikiran Ahmadiyah diterima orang boleh dikatakan hanya “pada segi-seginya yang praktis untuk pembelaan Islam”. Bila seorang khatib muda naik di mimbar Jum’at dan “mengupas” Bibel dan mengutip Muhammad Ali, atau kadang-kadang Mirza Basyiruddin tanpa menyebut sumber, dan dengan itu telah mengesankan keluasan berfikir yang cukup, galibnya ia tidaklah bermaksud mempropagandakan Ahmadiyah.
Fikiran-fikiran Ahmadiyah itu telah demikian saja merupakan satu bagian tak terpisahkan dari pemikiran Islam mutakhir. Mereka ini, setelah tidak bisa menerima Ghulam Ahmad sebagai Nabi (kalau bisa tentulah mereka masuk jemaat Qadiani), biasanya tidak begitu peduli apakah Ghulam Ahmad memang Pembaharu yang diutus Allah (seperti diyakini kaum Lahore), atau Yesus dan Imam Mahdi yang seperti dijanjikan dalam hadis Ibnu Majah akan bangkit mendukung syari’at Muhammad (seperti diyakini baik Qadiani maupun Lahore). Bagi umumnya umat muslimin, hadis-hadis semacam itu termasuk jenis “hadis-hadis rawan”, yang boleh menimbulkan banyak penafsiran dan umum tertimbun di bawah hadis-hadis yang mereka anggap lebih praktis dan langsung berhubungan dengan amal.
Adalah menarik bahwa bagi aliran Lahore sendiri “masa kerja” ajaran Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid pilihan Allah akan sudah bisa berakhir dengan berakhirnya abad tahun Hijrah yang sekarang yakni enam tahun Iagi — sementara insya Allah sudah muncul Mujaddin pilihan yang lain. Dan bagaimana lantas nasib GAI? “Terserah beliau nanti” jawab tokoh-tokoh mereka sekarang.
Ini secara diametral membedakan aliran Lahore dari Qadian. Yang terakhir ini menganggap Ghulam Ahmad tokoh satu-satunya dan setelah tiga abad nanti akan menjadi lantaran bagi bersatunya dunia di bawah Khalifah beliau. Moertopo SH misalnya — Ketua PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang Qadian menyatakan bahwa cita-cita terakhir Islam memanglah membentuk sebuah dunia dengan seorang pemimpin rohani tertinggi — apa boleh buat: “kira-kira seperti yang dicita-citakan dunia Katolik”.
Ini selain kurang populer di kalangan Islam umumnya juga menyebabkan mereka — terutama kalangan intelektuilnya yang cenderung tetap membuka pintu bagi pembaharuan-pembaharuan sepanjang bisa dibenarkan –memandang jemaat Ahmadiyah sebagai semacam ikatan yang akhirnya bahkan tidak “membebaskan”, begitu konon istilahnya. Pegangan teguh kepada Mujaddid pilihan sendiri sudah dengan sendirinya melenyapkan kemungkinan ijtihad yang kebetulan tidak sesuai dengan sang Mujaddid.
Terbaca Samar-Samar
Alhasil, minus kepercayaan-kepercayaan dasar terutama dari aliran Qadian, fikiran-fikiran Ahmadi memang baru menimbulkan bekas. Sekarang misalnya dunia Islam — seperti diwakili Syekh Mahmud Syaltut dari Al-Azhar dan lain-lain — sudah mengakui bahwa Isa benar-benar wafat dan bukan diangkat ke langit hidup-hidup seperti penafsiran kaum Sunni sebelumnya.
Jusuf Wibisono juga menyebut misalnya betapa fikiran-fikiran Muhammad Ali mempengaruhi pemikiran Islam tentang ekonomi. Dalam hal riba, merekalah yang mengumumkan bahwa yang dimaksud riba adalah rente dengan motif penindasan. Sesuai dengan bunyi Qur’an: “Jangan kamu menindas dan janga kamu ditindas” (la tazhlimun wala tuzhlamoun). Benar masalah riba tersebut telah disinggung dalam tafsir Al-Manar ‘Abduh & Rasyid Ridha. Namun penafsiran yang olell Jusuf Wibisono dibaca dari Muhammad Ali tersebut, seperti dikatakannya, membuka pintu bagi eksistensi bank asal tak menuruti syarat di atas. Jusuf Wibisono sendiri memang tidak bisa menerima misalnya penafsiran yang terlalu jauh dalam Tafsir Muhammad Ali untuk ayat-ayat mu’jizat. “Bagi saya”, katanya, “kalau Nabi Musa memecah laut dengan tongkat, ya kejadiannya memang begitu. Bukan misalnya ditafsirkan bahwa tongkat itu lambang kekuasaan dan mereka menyeberang dalam keadaan laut kering dan sebagainya”.
Tetapi pro dan kontra terhadap fikiran-fikiran Ahmadi, dengan asumsi pertama bahwa dari mereka banyak bisa diambil hal-hal yang elok, menunjukkan kedudukan ajaran ini dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia. Sesudah masuknya kitab-kitab dari Timur Tengah di akhir abad 19, yang menumbuhkan perkumpulan-perkumpulan tajdid (pembaharuan) seperti Muhammadiyah dan lain-lain, dan sebelum datangnya konsep-konsep yang relatif lebih jelas seperti pemikiran-pemikiran tentang negara dari Iqbal atau Seyd Amir Ali, di Indonesia berhembus udara India yang merupakan sebuah titik yang penting, meskipun lazimnya dilupa.
Nama Mirza Ghulam Ahmad sendiri seakan-akan hanya terbaca samar-samar di sini. Bahkan Tafsir Muhammad Ali yang diterjemahkan antara lain oleh Tjokroaminoto itu, tidak mengupas apa-apa tentang salah seorang tokoh dunia ini.[]
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1974/09/21/AG/mbm.1974092
No comments:
Post a Comment