Tuesday, June 7, 2011

Membela Ahmadiyah yang Dizalimi

Jawa Pos, 28 April 2008

Oleh Imam Ghazali Said*


Satu jam setelah Forum Lintas Agama (FLA) memilih penulis untuk menjadi jubir dalam konferensi pers 24 April 2008, telephone dan hand phone penulis terus berdering; mempertanyakan mengapa penulis membela aliran sesat? Karena itu perkenankan penulis memberi penjelasan berikut.

Pertama, Ahamadiyah, baik aliran Lahore, di Indonesia populer dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) maupun aliran Qodiyan, yang populer dengan Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah berkiprah dan berinteraksi dengan para tokoh nasionalis Indonesia, baik yang muslim maupun yang sekuler sejak tahun 1920-an sampai tahun 1980-an. Dalam rentang waktu itu GAI dan JAI telah berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan ikut serta dalam mencerdaskan bangsa. Sayid Syah M. Muballig (Ketua Panitia Pemulihan Pemerintahan RI dan Penyusun Program Bahasa Urdu RRI Jakarta, 1950), Erfan Dahlan (Putera pendiri Muhammadiyah, K.H. A. Dahlan), Abu Bakar Ayub, Abd. Wahid, dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh GAI dan JAI yang punya jasa besar dalam perjuangan dan mengisi kemerdekaan RI dengan cara bergabung dalam BKR, TKR, KOWANI, dan KNI..

Dalam rentang waktu tersebut, mereka secara intens telah berinteraksi secara sosial, politik ekonomi dan teologis dengan tokoh-tokoh dan Organisasi Islam terpopuler di Indonesia Muhammadiyah dan NU, bahkan Dialog Teologis pernah terjadi antara wakil GAI-JAI dengan A. Hassan (Persis) dan K.H. A. Wahid Hasyim (NU). Hasilnya? GAI dan JAI adalah saudara kita sesama muslim yang tinggal di negara tercinta Indonesia.

Lebih dari itu, tokoh GAI R. Sudewo Parto Kusumo (1905-1970) sangat berjasa secara intelektual dan spritual dalam mengkader kaum muda muslim terpelajar yang tergabung dalam Jong Islamitenbond (JIB), dan juga masih banyak tokoh GAI dan JAI yang kemudian berjuang dalam organisasi Syarikat Islam (SI) dan Masyumi. Beranikah kita menilai mereka itu “aliran sesat” dan “bukan muslim” hanya karena mereka punya teologi yang sedikit berbeda dengan mayoritas muslim Indonesia?

Kedua, setelah melakukan kajian mendalam, membaca dan memahami kitab-kitab tentang aliran-aliran dalam Islam, diantaranya al-farq baina al-firaq (al-Baghdadi), al-milal wa al-nihal (Syahrastani), al- fashl baina al-milal wa al-nihal (Ibn Hazm), al-iqtishad fi al-i’tiqad (al-Ghazali), maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-mushallin (al-Asy’ari), dan lain-lain bersama kyai Pesantren yang mewakili seluruh propinsi di Indonesia yang difasilitasi oleh Komunitas Mata Air pimpinan Gus Mus dan Wahid Institute pimpinan Gusdur, tanggal 22-25 Maret 2008 di Jakarta menyimpulkan, “bahwa manusia yang berucap dua kalimah Syahadat, melaksanakan rukun Islam dan rukun Iman sekaligus tidak menentang satupun dari dua rukun Iman dan Islam itu, wajib dianggap dan dinilai sebagai saudara kita sesama muslim, yang hak-hak sipilnya harus kita lindungi”.

GAI dan JAI setelah penulis melakukan studi terhadap kitab Tadzkirah, testimoni, introgasi dan dialog dengan para tokoh dan kaum awam pengikut JAI, ternyata mereka tidak keluar dari kriteria muslim dan mukmin di atas. Karena itu, penulis konsisten mengikuti nurani dan kajian ilmiah untuk ”Membela JAI” tanpa mempertimbangkan akan dibenci kelompok muslim yang menyesatkan Ahmadiyah atau tidak.

Ketiga, fatwa penyesatan dan penilaian di luar Islam oleh MUI terhadap Ahmadiyah Qodiyan, 1 Juni 1980, dan diperkuat oleh fatwa MUI 15 Juli 2005, itu muncul setelah aliran tertentu yang mengaku paling islam, menyerang kantor pusar JAI di Parung Bogor. Selanjutnya tindak kekerasan menyebar ke berbagi daerah, kantor-kantro JAI diserang, sehingga menimbulkan korban. Penulis menilai fatwa MUI tersebut telah memberi legitimasi diperkenankannya tindak kekerasan terhadap JAI yang tak pernah menggangu secara fisik – apalagi menyerang – kelompok Islam lain yang berbeda. Realita ini menggugah nurani penulis untuk menyatakan, bahwa JAI telah didzalimi, dan hak-hak sipilnya diganggu. Ini, jelas bertentangan dengan konstitusi kita UUD ’45 pasal 29, ayat 1 dan 2, disamping mengabaikan bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Keempat, status ormas JAI yang sudah berbadan hukum dengan SK Menkeh RI No : JA 5/23, tanggal 13-3-1953 tidak dengan mudah akan dibatalkan melalui SKB Menag, Mendagri dan Jaksa Agung, hanya berdasarkan tekanan kelompok yang merasa “paling islam” dan rekom fatwa MUI dan Bakor Pakem. Sebab, eksistensi MUI dan JAI itu sejajar dan keberadaan Bakor Pakem tidak punya landasan hukum dan konstitusi yang kuat.

Kelima,MUI mestinya mengeluarkan fatwa bagi penyerang (pelaku pidana), bukan menyesatkan pihak yang diserang (korban pidana). Hemat penulis, MUI tidak adil dalam klarifikasi data. Yang menjadi pedoman MUI banyak berdasarkan yang dikemukakan oleh Amin Jamaluddin (LPII) dalam bukunya: Ahmadiyah Membajak Al-Quran, dan buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul: Ahmadiyah Punya Nabi dan Kitab Suci Baru. Mengapa MUI –sebelum mengeluarkan fatwa- kok tidak mengklarifikasi tentang isi dan substansi dua judul buku tersebut pada PB.JAI?

Keenam, MUI dan organisasi-organisasi Islam yang lain, mestinya menyadari bahwa fonis “luar Islam” akan berakibat tindak kekerasan, dan mengurangi secara drastis persentase ummat Islam Indonesia. Sebab, menurut data JAI jumlah pengikutnya seacara nasional berkisar antara 2-3 juta jamaat, yang disensus KTP tertulis Islam. Itu selain ummat Kongfuchu yang dalam KTP-nya juga mencantumkan Islam. MUI-lah yang paling bertanggung jawab atas penurunan persentase ummat Islam Indonesia.

Ketujuh, pembatalan badan hukum JAI hanya bisa diterima lewat keputusan pengadilan. Karena itu, jika SKB pembubaran JAI terbit, maka penulis menganjurkan agar JAI menempuh jalur hukum, dengan cara menggugat SKB tersebut ke pengadilan. Dengan demikian, SKB itu belum punya kekuatan hukum tetap. Selama proses hukum di pengadilan, penulis menganjurkan :

  1. Semua pihak harus “mengekang diri” untuk tidak melakukan provokasi untuk menyerang JAI
  2. Pihak terkait dalam pemerintah diharap berkoordinasi untuk melindungi jiwa para anggota JAI dan aset-asetnya di seluruh Indonesia. Pihak keamanan harus bertindak tegas terhadap pihak manapun yang melakukan tindak anarkisme.
  3. Pihak JAI harus mengantisipasi kemungkinan terjelek “kalah di pengadilan” untuk mengalihkan aset-asetnya dan eksodus para anggotanya ke ormas lain yang moderat dan masih mau menerima ajaran-ajarannya sambil mendialogkan teologinya yang selama ini diyakini.
  4. Pada JAI dimohon untuk segera mengklarifikasi tuduhan-tuduhan teologi yang dianggap menyimpang oleh kelompok Islam yang lain dengan menulis buku bantahan terutama pada karya Amin Jamaluddin dan Hartono Ahmad Jaiz di atas. Jika JAI tidak mampu segera menulis bantahan itu, maka dikhawatirkan tuduhan-tuduhan yang ada dalam buku itu dianggap benar seratus persen. Itu akan menjdi memicu konflik terus menerus yang akan merugikan semua pihak.

Kasus JAI ini akan menjadi tolak ukur tahannya konstitusi kita menghadapi kita menghadapi gelombang makin menguatnya kelompok muslim “Kanan” yang menginginkan formalisme syariah dalam kehidupan negara – menurut penulis – ini akan menjadi ancaman serius bagi eksistensi NKRI dengan semua perangkat konstitusinya.

*Imam Ghazali Said, pengasuh Pesma "An-Nur" dan ketua FKUB Surabaya

No comments:

Post a Comment