Tempo, 25 Agustus 1990
Pada edisi Oktober itu bulanan Serial Media Dakwah (SMD) menampilkan Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah yang oleh para pengikutnya disebut "nabi", dalam foto yang tak sebagaimana biasanya. Tokoh ini tak sekadar ditampilkan berserban dan berjenggot tebal, tapi ada sesuatu yang ditambahkan. Dikepala sang pendiri digambarkan ular kobra yang melilit dan siap mematuk. Dibawah gambar ada teks, bunyinya: "Riwayat Hitam Nabi Palsu Mirza Ghulam Ahmad." Mirza Ghulam sendiri memang tak marah, karena ia sudah meninggal pada 1908. Tapi rasa beragama Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) rupanya terserempet. "Gambar itu sangat menghina orang yang kami sucikan," kata Ir. Pipip Sumantri, Sekjen JAI.
Ketersinggungan tak berhenti pada pernyataan, melainkan berlanjut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. H. Buchari Tamam, pemimpin redaksi dan penanggungjawab majalah tersebut, beserta penerbitnya, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, tampil sebagai tergugat I dan II. Di pengadilan soal ketersinggungan agama tak diutik-utik. Majelis hakim melihat persoalan ini dari sudut penghinaan, "karena soal agamanya bukanlah urusan pengadilan," kata Iman Parwis Syafii, S.H., salah seorang anggota majelis hakim yang menyidangkan perkara ini. Ahmadiyah, kepada pengadilan, memang menyatakan merasa nama baiknya tercemar oleh gambar tersebut.
Dalam sidang-sidangnya majelis memang tidak mempertimbangkan segi-segi agamanya. Misalnya sikap MUI (Majelis Ulama Indonesia), yang menganggap sesat Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Juga pendapat Jaksa Agung RI pada 29 Mei 1980 dan 31 Oktober 1980, yang menilai akidah Ahmadiyah mengenai kenabian bertentangan dengan yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia. Itu bukan karena majelis hakim tidak tahu soal tersebut. Melainkan, soal "itu bukan urusan kami," kata Iman Parwis. Maka, di pengadilan, Jemaah Ahmadiyah Indonesia, organisasi yang didirikan pada 1925 itu, diakui keberadaannya. Dengan kata lain, JAI dipandang punya hak-hak sebagaimana organisasi yang sah, termasuk beperkara di pengadilan. Bahkan majelis hakim menekankan organisasi ini belum pernah dibubarkan pemerintah Indonesia sebagai lembaga keagamaan yang mengembangkan agama Islam dan ajaran Nabi Muhammad saw. menurut Quran, sunah, dan hadis -- ini sesuai dengan pasal 3 ayat 2 Anggaran Dasar Jemaah Ahmadiyah Indonesia.
Majelis hakim mengesampingkan hal yang menjadi perdebatan antara mayoritas Muslim Indonesia dan Jemaah Ahmadiyah. Yakni soal Imam Mahdi yang dijanjikan Nabi Muhammad saw. Jemaah Ahmadiyah bilang, Imam Mahdi itu sudah datang, yang tak lain adalah Mirza Ghulam itulah. Sedangkan umat yang lain, ada yang mengatakan imam itu akan datang nanti pada hari kiamat.
Melihat gambar dan teks, dipandang dari segi hukum, kata Iman Parwis, memang kurang wajar atau kurang patut. Adapun kekurangpatutan itu dirumuskan oleh majelis hakim sebagai "tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang kelahiran dan kerohanian dari milik hidup seorang atau gerombolan orang. Maka, majelis hakim menyatakan, antara lain: majalah Serial Media Dakwah dan Dewan Dakwah Islamiyah telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dan majelis menghukum para tergugat untuk memasang iklan permohonan maaf kepada Jemaah Ahmadiyah Indonesia di majalah Serial Media Dakwah itu sendiri, tiga kali berturut-turut. Besar iklan itu mesti sama dengan besar gambar Ghulam Ahmad yang dimuat majalah bulanan tersebut. Juga, ukuran huruf permintaan maaf mesti juga sama dengan besar huruf teks yang menyertai gambar Mirza Ghulam yang dimuat pada Oktober 1988.
Buchari Tamam, pemimpin redaksi yang digugat itu, tentu saja menolak keputusan ini. Ia akan naik banding. Alasannya, sudah bisa ditebak, soal keabsahan Jemaah Ahmadiyah itulah. "Organisasi ini oleh Majelis Ulama Indonesia sudah dilarang di beberapa daerah," kata Buchari kepada Dwi S. Irianto dari TEMPO. Pihak Serial Media Dakwah dan Dewan Dakwah Islamiyah mengajukan saksi-saksi ahli, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia. Majelis hakim menolak saksi-saksi ahli itu, tanpa menjelaskan alasannya. Bagi Buchari Tamam, gambar yang mengakibatkan majalah yang dipimpinnya dan Dewan Dakwah Islamiyah kepengadilan hanyalah gambar biasa saja. Dan gambar tersebut dimuat bukanlah mengada-ada, melainkan untuk menyambut kegiatan yang dilakukan oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia dalam merayakan ulang tahun ke-100 Ahmadiyah. Adapun gambar ular yang ditambahkan pada gambar Mirza Ghulam, kata Buchari Tamam, sesuai dengan kebudayaan India, tempat asal sang pendiri Ahmadiyah itu. Jadi, apa salahnya gambar itu?
Tapi Buchari tidak sukses. Ia tak berhasil membawa pengadilan mempersoalkan keabsahan Ahmadiyah, dan karena itu mempersoalkan segi agamanya. Ia juga gagal meyakinkan majelis hakim bahwa gambarnya (tergugat tak menyebut-nyebut teksnya) tak bermaksud menghina. Adakah hal itu akan jadi pertimbangan pengadilan tinggi, nanti? Bila demikian, bisa jadi masalahnya akan berkepanjangan misalnya mempersoalkan eksistensi Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi
No comments:
Post a Comment