Sutisna bukan orang gedongan. Sehari-hari, pria asli Desa Manis Lor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, ini berjualan bubur kacang hijau, mi rebus, dan telur setengah matang di kawasan Cempaka Putih, Jakarta. Penghasilannya juga tergolong biasa, sekitar Rp 2 juta sebulan. Tapi setiap bulan Sutisna rela menyisihkan 2,5 persen untuk zakat dan seperenam belas dari penghasilannya untuk candah (sedekah). "Itu untuk kepentingan umat," katanya.
Hal serupa juga dilakukan Euis, pedagang sayur-mayur di Pasar Jagasatru, Kota Cirebon. Setiap bulan Euis yang punya penghasilan bersih Rp 3 juta per bulan selalu melakukan hal yang sama dengan Sutisna. Karna yang punya pendapatan hingga Rp 6 juta per bulan atau bahkan guru kontrak Saelani yang hanya berupah Rp 400 ribu sebulan selalu rela menyerahkan sebagian penghasilan mereka. "Kalau tidak membayar candah, sepertinya ada sesuatu yang hilang," kata Euis. Saelani menambahkan, "Justru karena ikhlas, saya merasa rezeki saya banyak."
Mereka semua diikat oleh satu hal: Ahmadiyah. Sebagai bagian dari jemaah Ahmadiyah, pengikutnya diwajibkan membayar zakat 2,5 persen. Selain itu, masih ada candah dan banyak iuran lain. Sebut saja, misalnya, candah aam (iuran umum) sebesar se-perenam belas dari penghasilan bersih setiap bulan, candah wasiat yang besarnya 10 persen penghasilan, atau candah tahriq jadid atau iuran suka rela khusus untuk membiayai wali. Setidaknya ada 40 jenis iuran di lingkungan Ahmadiyah.
Dengan cara begitulah, Ahmadiyah hidup dan berkembang. Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang tersebar dari Parung, Sukabumi, Yogyakarta, hingga Lombok menjadi penopang organisasi. Kelompok ini memang mengenal pengorbanan harta yang dimaknai sebagai membelanjakan harta di jalan Allah. Itu sebabnya, mereka punya kedisiplinan tinggi dalam membayar kewajiban mereka.
Bahkan tidak jarang mereka berlomba-lomba menyerahkan harta mereka untuk organisasi. "Kami yakin, semakin tinggi iuran, semakin tinggi pula tingkat keimanan dan ketakwaan kami," kata Ruhadiya Ayyubi, pengurus cabang Kemang. Tidak mengherankan jika banyak anggota yang sampai menyerahkan sepertiga penghasilan mereka untuk pengembangan Ahmadiyah. Di Indonesia, saat ini ada dua organisasi Ahmadiyah, yakni Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Qadian) dan Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Lahore).
Itu pula yang membuat Jemaat Ahmadiyah tidak memerlukan lengan bisnis sendiri untuk menunjang kegiatannya. "Kalau punya bisnis, nanti malah berebut menjadi kaya," ujar Asep Saepudin, Ketua Jemaat Ahmadiyah Parakansalak, Kabupaten Sukabumi. Tapi sebagian besar penganut Ahmadiyah punya bisnis yang lumayan mapan, meski skalanya tidak besar. Asep, misalnya, punya usaha jasa penyewaan alat-alat pesta.
Seluruh iuran jemaah yang terkumpul dari setiap cabang itu kemudian disetorkan ke pengurus besar di Jakarta. Pusat inilah yang kemudian mengelola dan mendistribusikan kembali setoran umat ini ke cabang-cabang dalam bentuk sumbangan kegiatan. Berapa pun yang diminta, menurut Saelani, yang juga pengurus keuangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Cabang Manis Lor, pusat pasti memberi. Bantuan terbesar diterima cabang ini pascaperusakan dan penyegelan masjid umat di desa ini beberapa waktu lalu.
Untuk mengelola dana umat ini, pengurus pusat dilengkapi sejumlah anggota staf dengan tugas berbeda. Ada yang bertugas mencatat, ada yang menangani penyimpanan uang, ada juga yang mengeluarkan dan mengaudit. Mereka ini dipilih melalui Majelis Syura yang beranggotakan 400 orang. Untuk menjadi anggota Majelis Syura pun tidak perlu kampanye. "Cukup rutin membayar iuran, maka dia berhak memilih dan dipilih," Dudung memaparkan.
Ahmadiyah juga tidak mengharamkan transaksi uang melalui bank karena niatnya hanya untuk memudahkan penyetoran dari cabang ke pusat dan sebaliknya. "Bunga bank yang kami terima dipakai untuk mencetak buku syiar yang tidak diperjualbelikan," tutur Dudung A. Latief, Ketua Pemuda Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sayangnya, tak terungkap berapa besar dana yang mereka kelola setiap tahun.
Namun, sebagai gambaran, dari kumpulan candah seperenam belas penghasilan bersih umatnya, Ahmadiyah Qadian yang berpusat di Punjab, India, bisa memiliki stasiun televisi Muslim Television Ahmadiyah (MTA) yang tayang 24 jam tanpa iklan. Televisi ini disiarkan melalui tujuh satelit sehingga bisa disaksikan di 180 negara, termasuk Indonesia, melalui antena parabola.
Kalau tidak punya parabola, televisi yang hanya menayangkan keindahan Islam dalam delapan bahasa ini bisa disaksikan melalui situs Internet www.mta.tv, www.ahmadiyya.or.id atau www.alislam.org. Khusus siaran berbahasa Indonesia, dapat disaksikan pukul 17.00 hingga 18.00. "Semua kru MTA adalah volunter, tidak ada yang dibayar," kata Ruhadiya.
Sebagian dari anggota Ahmadiyah juga punya sekolah atau perguruan tinggi. Ahmadiyah di Yogyakarta, misalnya, memiliki lembaga pendidikan di bawah Yayasan Pendidikan Islam Republik Indonesia. Tapi, menurut Mulyono, Sekretaris Yayasan Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Pendidikan Islam Republik Indonesia berbeda badan hukum dengan Ahmadiyah. Meski pendirinya orang-orang Ahmadiyah, secara organisasi, "Pendidikan Islam Republik Indonesia bukan milik Gerakan Ahmadiyah Indonesia."
Yayasan Pendidikan Islam Republik Indonesia memiliki sekolah mulai taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah atas, hingga sekolah menengah kejuruan. Yayasan ini juga punya percetakan nirlaba yang belum pernah untung sejak berdiri karena yang dicetak hanya buku syiar dan Al-Quran untuk umat. Bahkan sekolah pun, masih menurut Mulyono, tidak terlalu menguntungkan.
Ahmad Syaifuddin, Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk Cabang Yogyakarta, menambahkan, biasanya sekolah-sekolah seperti itu didirikan oleh para individu anggota Ahmadiyah yang memiliki kekuatan ekonomi melalui yayasan-yayasan yang bersifat mandiri. Yayasan itulah yang kemudian mendirikan sekolah, seperti Madrasah Al-Wahid yang terkenal di Cirebon. "Ini hanya sebatas pengkhidmatan secara mandiri," kata Ahmad.
Zakat dan candah itu pula yang membuat dua organisasi Ahmadiyah di Indonesia mandiri dan independen. "Tak sesen pun kami pernah menerima bantuan dari pemerintah," kata Ruhadiya.
Anne L. Handayani, Sunudyantoro, Ivansyah, Supriyanto Khafid, Bernarda Rurit, Rina Widiastutihttp://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/05/05/LU/mbm.20080505.LU127089.id.html (Accessed on 6/23/2011)
No comments:
Post a Comment