Jambi Ekspres, Sabtu, 12 Februari 2011 10:59
Oleh AKH. MUZAKKI*
Pertanyaan semacam itu semakin kuat tatkala dikaitkan dengan fakta masuknya Ahmadiyah ke Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni 1925. Karena itu, pertanyaan akan bergerak ke persoalan apakah betul kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah dipicu faktor keyakinan teologis semata, terutama menyangkut posisi Nabi Muhammad SAW.
Jika ya, mengapa pada masa dulu kekerasan yang sama tidak terjadi secara masif? Kalau ingin diperbandingkan dengan masa awal tumbuhnya Ahmadiyah di Indonesia, penentangan terhadap Ahmadiyah pada masa kini cenderung jauh lebih besar dan bahkan lebih ekstrem.
Hal itu tidak berarti tak ada penentangan terhadap kelompok tersebut pada masa 1920-an dan 1930-an di Indonesia.
Sejarah mencatat, H.O.S. Tjokroaminoto, sebagai tokoh cerdas dan berpengaruh dalam sejarah Islam Indonesia paro pertama abad ke-20, pada 1928 pernah menerjemahkan karya monumental tokoh Ahmadiyah Lahore, Abdullah Yusuf Ali. Karya itu berupa tafsir berjudul The Holy Qur’an: Arabic Text, Translation and Commentary.
Tatkala Tjokroaminoto hendak menerbitkan terjemahan karya tersebut, penentangan keras pun dating dari sejumlah kelompok Islam, terutama Muhammadiyah. Penentangan keras itu dilaporkan dipicu perbedaan teologi. Karya terjemahan Tjokroaminoto itu pun akhirnya tak pernah muncul ke permukaan dan tak pernah bisa dibaca orang. Hilang bersama waktu karena protes keras dan tekanan Muhammadiyah.
Tjokroaminoto pun, dan banyak muslim yang lain, menyesalkan kejadian itu. Meski Tjokroaminoto mengklaim karyanya telah disetujui pimpinan Muhammadiyah seperti KH Fachruddin dan KH Mas Mansur, Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi tetap saja menolak penerbitan tersebut.
Tjokroaminoto lalu menuduh Muhammadiyah takut kehilangan dominasinya terhadap pasar Islam Indonesia jika karya terjemahan buku ilmuwan Ahmadiyah itu jadi diterbitkan (Noer, Modernist Muslim Movement, 1973: 150-151).
Menyusul minimnya penerbitan mengenai Ahmadiyah, akhirnya banyak orang yang tidak paham tentang Ahmadiyah di Indonesia. Alih-alih mengerti, salah paham sering terjadi dan menjadi awal pelarangan, pengusiran, perusakan, bahkan praktik kekerasan fisik. Distingsi antara Ahmadiyah Lahore (yang di Indonesia berwadah Gerakan Ahmadiyah Indonesia/GAI) dan Qodian (yang di Indonesia berhimpun dalam Jemaat Ahmadiyah Indonesia/JAI) pun tak pernah terpahami.
Lebih ironis, kekerasan seakan menjadi mimpi buruk yang selalu menyertai perjalanan Ahmadiyah secara keseluruhan di Indonesia. Saya tidak menampik bahwa persoalan perbedaan keyakinan dasar teologis bisa menjadi faktor merebaknya kekerasan masal belakangan ini. Namun, harus dipahami bahwa faktor teologis yang di maksud bertemu dengan fakta lemahnya kapasitas negara dalam menegakkan pesan konstitusi soal kebebasan berkeyakinan.
Pergerakan negara pada era reformasi ini telah kehilangan elan vitalnya sebagai penjamin sekaligus pelindung kebebasan beragama warganya. Negara tidak berdaya di hadapan umat beragama. Buktinya, meski selama ini kekerasan kelompok beragama terhadap kaum Ahmadiyah sudah sangat kerap terjadi, negara tak pernah mengambil sikap tegas. Akibatnya, kekerasan yang sama terus-menerus terulang dan menimpa kaum Ahmadiyah di sejumlah tempat di Indonesia.
Bahkan, yang jauh lebih ironis, fatwa sesat MUI terhadap Ahmadiyah terbukti telah mampu memaksa negara untuk menempatkannya pada posisi dan kapasitas yang melebihi serta mengalahkan UUD yang secara eksplisit melindungi kebebasan beragama.
Di satu sisi, kondisi tersebut terjadi karena negara tidak menjaga posisinya sebagai kekuatan netral di atas basis masyarakatnya yang multikultural, multietnis, dan multiagama. Di sisi lain, negara juga gagal menunjukkan kapasitasnya untuk melindungi hak hidup dan beragama setiap warga negaranya, termasuk terhadap kelompok minoritas.
Minoritas di sini tidak saja dalam hubungannya antaragama, tapi juga intern-agama. Negara masih bisa dikendalikan oleh tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas. Akibatnya, kelompok minoritas cenderung menjadi kelompok subaltern dalam tradisi pembacaan teori pascakolonial (postcolonial theory) yang tidak memiliki kapasitas untuk berartikulasi secara sosio-kultural dan politik.
Meredupnya kapasitas Negara untuk menjalankan kekuasaan serta menjaga netralitasnya telah mengakibatkan kelompok mayoritas menjadi tirani terhadap kelompok minoritas.
Kegagalan negara menjalankan fungsi tersebut, dalam praktiknya, menyediakan lahan subur bagi radikalisasi di kalangan pengikut agama pada masa kini. Saat Tjokroaminoto berkehendak menerbitkan hasil terjemahannya atas karya ulama Ahmadiyah Yusuf Ali pada 1928, reaksi kalangan agamawan tak lebih dari pelarangan atas penerbitan itu.
Kekerasan lebih luas dalam bentuk fisik masih cenderung dihindari. Namun, kini, tidak saja pelarangan yang ditemui oleh kalangan Ahmadiyah.
Bahkan, kekerasan fisik dalam bentuk penganiayaan, pengusiran, perusakan, dan pembakaran tempat ibadah pun sudah terjadi secara berulang. Kalau tidak disikapi secara bijak oleh semua pihak, bertemunya persoalan teologis dengan lemahnya kapasitas negara sebagai pelindung warganya dikhawatirkan menimbulkan apa yang oleh Anthony Giddens (Runaway World, 2000) disebut fundamentalisasi agama pada era globalisasi.
Menurut Giddens, dalam hubungannya dengan gerakan sosio-kultural-keagamaan, globalisasi telah mengakibatkan terjadinya ’’kebangkitan agama (religious revivals)’’. Kebangkitan agama itu dalam pandangan Giddens lahir mewujud dalam bentuk fundamentalisme yang menabrak prinsip serta semangat toleransi kosmopolitan. (*)
*) AKH. MUZAKKI, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, alumnus doktoral Political History The University of Queensland, Australia
http://www.jambiekspres.co.id/opini/18478-anti-ahmadiyah-dulu-dan-kini.html
No comments:
Post a Comment