Orang tahu, daerah peninggalan Imam Bonjol ini pusat pergerakan dan pembaharuan keagamaan. Dan memang disinilah pertama kali Ahmadiyah Qadian menjejakkan kaki.
Sudah sejak tahun 20-an perguruan Sumatera Thawalib lembaga pendidikan Islam yang bersejarah melihat-lihat keluar untuk memperluas orientasi bagi memperkaya idham modernisme Islam. Sebagaimana Imam Bonjol pada abad sebelumnya berlayar ke jazirah Arab dan berkenalan dengan aliran Wahabi, demikianpun beberapa orang murid Sumatera Thawalib pada 1922 pergi berlayar — tetapi bukan ke Mekah. Atas anjuran Labai ElYunusiyah ulama besar dan ayah Rahmah El-Yunusiyah yang terkenal tiga orang anak muda tersebut pergi ke India. Mereka adalah Ahmad Nurdin, Abu Bakar Ayub sendiri dan Zaini Dahlan. Ini memang suatu keluar-biasaan. Alkisah, berkeliling di negeri Hindustan mereka konon tak mendapati perguruan yang mereka maksud — sebab semuanya “sama saja denan yang sudah mereka pelajari” memang harus dipercaya.
Demikianlah maka akhirnya mereka mendengar tentang Qadian dan pergi ke sana meskipun banyak mahasiswa Islam di perjalanan melarang. Kesudahannya sudah bisa ditebak. Tahun 1924 ketiga-tiganya bertemu dengan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad Khalifah ke-II dari Ghulam Ahmad menurut faham kaum Qadian — dan mereka langsung minta dikirim mubaligh ke Indonesia. Maka berangkatlah ke sini Maulvi Rahmat Ali. Kapalnya hinggap di Aceh — dan dari sini entah naik apa pergi ke Padang dan Bukittinggi. Di sinilah benih pertama ditabur. Dan di sini pula setahun kemudian ayahanda Hamka (pribumi Indonesia pertama yang mendapat titel Doktor yakni dari Universitas Al-Azhar Kairo) menulis bukunya yang telah disebut yang dengan tegas menganggap kaum Ahmadiyah Qadian berada di luar Islam: bahasa populernya kafir.
Tapi sementara itu mubaligh Rahmat Ali yang juga berhadapan dengan A. Hassan dalam debat di atas — naik kapal lagi dan pergi ke Jakarta. Dari sini ke Bogor, dari Bogor ke Bandung. Dan menyebarlah faham Ahmadiyah di Jawa Barat. Bahkan Jawa Barat dihitung-hitung merupakan daerah di mana pengikut mereka paling banyak sampai sekarang.
Rahmat Ali tidak pergi berda’wah ke Yogya. Di sini sudah lebih dahulu bermukim mubaligh India yang lain — hanya saja dari Ahmadiyah Lahore. Pada 1924 dua belas tahun setelah Muhammadiyah berdiri dan setahun sebelum datangnya mubaligh Qadian ke Aceh dan Minangkabau, dua orang ulama Hindi muncul di Yogya. Mereka itu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig. Tidak begitu jelas siapa yang mengundang mereka — kalaupun ada. Tapi ceritanya kedua mubaligh itu semula hendak pergi ke Hongkong — hanya saja di Singapura konon tertarik ke Indonesia karena mendengar kuatnya zending dan missi Kristen di sini.
Bagaimana sambutan kalangan Muhammadiyah? Mereka dielu-elukan. Sementara Maulana Ahmad pulang kembali ke India, Mirza Wali Ahmad Baig diberi tempat tinggal di Jalan Gerjen Kauman di rumah milik Haji Hilal — tokoh Muhammadiyah dan ayah ‘Aisyah Hilal yang terkenal itu. Pengurus Besar Muhammadiyah sendiri menyambut mereka dalam Kongresnya yang diadakan tahun itu: di sini Maulana Ahmad melontar pidato dalam bahasa Arab sementara rekannya berusaha berkomunikasi dengan pidato bahasa Inggeris.
Maka inilah cerita tentang Yogya
Rumah di mana Ahmad Baig tinggal menjadi tempat bertemu orang-orang Muhammadiyah khususnya yang muda-muda. Mereka terutama belajar bahasa Inggeris. Bahkan jangan lupa: ke sini pula sering datang HOS Tjokroaminoto dan para anggota Sarekat Islam. Itu adalah masa ketika SI dan Muhammadiyah berbaur demikian rupa. Adapun Cokro sudah tentu tidak sekedar belajar bahasa Inggeris. Diam-diam rupanya pemimpin ini menterjemahkan Tafsir Qur’an Maulana Muhammad Ali MA LLB (Presiden Ahmadiyah Lahore) ke dalam bahasa Melayu. Itu bahkan dikerjakan di dalam kapal beliau sebagai wakil SI bersama Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah berangkat ke Mekah untuk Mu’tamar ‘Alam Islami.
Persaudaraan Muhammadiyah dan Ahmadiyah bahkan lebih kelihatan tatkala beberapa pemuda Muhammadiyah kemudian dikirim ke Lahore. Mereka adalah Kyai Ma’sum almarhum (terakhir ikut gerombolen Kahar Muzakar) lantas Kyai Sabit dari Wonosobo yang di belakang hari menjadi aktivis PKI dan Jumhan, putera KHA Dahlan sendiri. Putera pendiri Muhammadiyah ini yang di tanah India berganti nama menjadi Irfan meninggal di Bangkok sebagai mubaligh Lahore .
Tetapi persaudaraan memang tak pernah bisa mulus terus-menerus. Kyai Dahlan meninggal sudah. Muhammadiyah akhirnya menghadapi kenyataan bahwa betapapun juga terdapat perbedaan-perbedaan doktrin tertentu dengan saudara-saudaranya dari Hindi itu. Benar bahwa Ahmadiyah yang Yogya ini bukan aliran Qadian yang secara sangat prinsipiil punya perbedaan asas dengan mereka. Namun penafsiran-penafsiran kaum Lahore (tentang Isa, tentang Adam, pengertian mu’jizat, pengertian wahyu, tentang Isra Mi’raj, dan beberapa hal tentang sorga-neraka misalnya) dirasa “kelewat jauh”. Kesadaran terhadap perbedaan tersebut berkelindan pula dengan beberapa friksi yang terjadi antara perkumpulan tersebut dengan SI.
Memang tidak boleh dikatakan hanya faktor keagamaan yang mendasari ketidak-akuran Muhammadiyah dan SI, meskipun pentolan-pentolan SI seperti Tjokro — dan jangan lupa Haji Agus Salim — dikenal “bersaudara lekat” dengan Lahore. Iklim politik dan beberapa hal lain memegang peranan. Tetapi yang agaknya termasuk penting ialah adanya pejabat-pejabat Belanda dari Islamietische Zazen yang sering “bertamu” baik ke rumah Tjokro maupun ke rumah H. Fakhruddin, pengganti KHA Dahlan — dan selalu ada saja hal-hal yang mereka bawa yang menyebabkan hubungan SI-Muhammadiyah makin kurang harmonis. Boleh diingat pula bahwa masalah ko-operasi dan non-koperasi dengan Gubernemen waktuitu sudah timbul: dan sementara SI memilih non-kooperasi, Muhammadiyah memanfaatkan subsidi pemerintah untuk program-program sosialnya.
Tetapi yang menarik ialah, pada 1927 kembali datang seorang ulama dari India ke Yogya. Namanya Abdul ‘Alim Siddiqui. Dan Muhammadiyah sebagaimana yang mereka lakukan dahulu pada kedatangan mubaligh Lahore, menyambut tamu tersebut. Kali ini dengan sebuah pengajian umum — dan pengajian ini menyerang Ahmadiyah baik Qadian maupun Lahore secara luar-biasa sengit.
Tak begitu jelas apakah hal itu melukai perasaan Cokroaminoto yang justeru sedang menterjemahkan tafsir Qur’an karangan pemimpin Lahore — atau barangkali tokoh-tokoh SI yang lain. Tapi kemudian SI pada tahun itu juga dalam kongresnya di Pekalongan memutuskan untuk menjalankan disipin partai kepada warganya yang juga menjadi anggota Muhammadiyah: mereka dipersilahkan minggir. Ini tak urung mengingatkan orang kepada tindakan serupa yang dilancarkan SI pada 1921 kepada anggota-anggotanya yang komunis. Tak heran bila Muhammadiyah yang pada tahun-tahun 1922 dan 1924 telah bersedia bersama-sama SI menyelenggarakan ‘Kongres Al-Islamli Cirebon dan Garut — dengan pembicaraan lebih luas dari sekedar soal-soal agama — tidak bersedia ikut dalam Majlis Ulama yang dahulu direncanakan bersama. Majlis itu akhirnya hanya berarti Majlis Ulama PSI, dibentuk pada 1928 dalam Kongres di Yogya. Dalam forum ini juga dibicarakan Tafsir Qur’an yang sedang dikerjakan Tjokroaminoto.
Mr. AK Pringgodigdo dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, ada menyatakan bahwa lantaran dan bagian-bagian pertama Tafsir itu ternyata hanya saduran dari Tafsir kaum Lahore, timbullah di korupsi itu perlawanan yang keras. Maka tampillah Agus Salim: beliau ini menerangkan bahwa dari segala jenis tafsir, tafsir Lahore yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar. Tapi wibawa dua tokoh besar itu saja rupanya tak cukup: perlawanan baru mereda setelah diambil keputusan uutuk menunda penerbitan selanjutnya sampai Majlis Ulama mengambil ketentuan. Dan ketentuan itu diambil dalam rapat Majlis tahun itu juga di Kediri. Isinya: terjemahan boleh diteruskan asal dilakukan dengan pengawasan Majlis. Dalam forum ini Tjokro tampil bersama Mirza Wali Ahmad Baig, sang mubaligh Lahore. Tetapi reaksi kaum ulama sudah tentu belum selesai.
Kongres Muhammadiyah diadakan tahun itu juga di tempat yang sama. Sidang selain mencela keras disiplin partai SI yang dikenakan kepada anggota organisasi agama non-politik seperti Muhammadiyah, jua menyatakan tidak bisa membenarkan tafsir Qur’an karangan Maulana Muhammad Ali tersebut. Alasan: tidak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.[]
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1974/09/21/AG/mbm.19740921.AG65421.id.html
No comments:
Post a Comment